Telusuri

Jumat, 10 Maret 2017

Shifat Wudhu Nabi

Sifat Wudhu Nabi


1. Berniat

Niat adalah tempatnya di hati dan melafalkan niat adalah bukan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan niat adalah syarat wudhu (ini adalah pendapat jumhur ulama), sehingga barang siapa yang berwudhu dengan niat bukan untuk bertaqorrub kepada Allah  ta'ala tetapi untuk mendinginkan badan atau untuk kebersihan maka wudhunya tidak sah,

عن أمير المؤمنين أبي حقص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ” إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرىء ما نوى. فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ” رواه إماما المحدثين أبو عبدالله محمد ابن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه البخاري،  وأبو الحسين مسلم بن الحجاح بن مسلم القشيري في صحيحيهما اللذيب هما أصح الكتب المصنفة.

Dari Amirul Mukminin Abu Hafs Umar bin Khoththtoob Rodhiyaallahu ‘anhu ia telah berkata: Saya pernah mendengar Rosuulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ” Sesungguhnya amal perbuatan tergantung kepada niyatnya, dan bagi seseorang tergantung apa yang ia niyatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rosulnya [mencari keridhoannya] maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rosulnya [keridhoannya]. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau untuk menikahi wanita maka hijrahnya itu tertuju kepada yang dihijrahkan.”
[HR Imamnya Ahli Hadits Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abu Husein Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi dalam kedua kitab shohihnya yang merupakan kitab tershohih dari kitab kitab hadits yang ditulis.
Namun Menurut madzhab Hanafiyah, hukum niat ketika akan berthoharoh (termasuk juga ketika akan wudhu) adalah hanya sunnah, sehingga seseorang berwudhu tanpa niat bertaqorrub pun sudah sah wudhunya. Dan yang benar adalah pendapat jumhur ulama. (Al-fiqh al-islami 1/225)


2. Membaca "Bismillah

Sesuai dengan sabda Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dari hadits Abu Huroiroh:

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوْءَ لَهُ وَ لاَوُضُوْءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ
"Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebutkan nama Allah atasnya". (Hadits Hasan, berkata Syaikh Al-Albani: "…Hadits ini memiliki syawahid yang banyak…", lihat irwaulgolil no 81)

Hadits ini secara dhohir menunjukan bahwa membaca "bismillah" adalah syarat sah wudhu. Namun yang benar bahwa yang dinafikan dalam hadits di atas adalah kesempurnaan wudhu.

Terjadi khilaf diantara para ulama. Imam Ahmad dan pengikutnya berpendapat akan wajibnya mengucapkan "bismilah" ketika akan berwudhu Mereka berdalil dengan hadits ini

Sedangkan jumhur ulama (Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Abu Hanifah, serta satu riwayat dari Imam Ahmad) bahwa membaca "bismillah" ketika akan berwudhu hukumnya hanyalah mustahab, tidak wajib. (TaudihulAhkam 1/193). Dalil mereka:
- Perkataan Imam Ahmad sendiri: "Tidak ada satu haditspun yang tsabit dalam bab ini"
-Dan kebanyakan sahabat yang mensifatkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan "bismillah" (syarhul mumti' 1/130)

Syaikh Al-Albani berkata: 
"…Tidak ada dalil yang mengharuskan keluar dari dhohir hadits ini (yaitu wajibnya mengucapkan bismillah-pent) ke pendapat bahwa perintah pada hadits ini hanyalah untuk mustahab. Telah tsabit (akan) wajibnya, dan ini adalah pendapat Ad-Dzohiriyah, Ishaq, satu dari dua riwayat Imam Ahmad, dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Sidiq Hasan Khon, Syaukani, dan inilah (pendapat) yang benar Insya Allah" (Tamamul Minnah hal 89)

Dan ada juga hadits yang lain yaitu:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ: طَلَبَ بَعْضُ أَصْحَابالنَّبِيِّ وُضُوْءً فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : هَلْمَعَ أَحَدٍ مِنْكُمْ مَاءٌ ؟ فَوَضَعَ يَدَهُفِيْ الْمَاءِ وَ يَقُوْلُ: تَوَضَّؤُوْا بِاسْمِاللهِ, فَرَأَيْتُ الْمَاءَ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِأَصَابِعِهِ حَتَّى تَوَضَّؤُوْا مِنْ عِنْدِآخِرِهِمْ . قَالَ ثَابِتٌ: قُلْتُ لأَنَسٍ: كَمْتَرأهُمْ ؟ قَالَ: نَحْوٌ مِنْ سَبْعِيْنَ

Dari Anas berkata: Sebagian sahabat Nabi  mencari air, maka Rosulullah berkata: “Apakah ada air pada salah seorang dari kalian?”. Maka Nabi meletakkan tangannya ke dalam air (tersebut) dan berkata:“Berwudhulah (dengan membaca) bismillah”.. Maka aku melihat air keluar dari sela-sela jari-jari tangan beliau hingga para sahabat seluruhnya berwudhu hingga yang paling akhir daarimereka.  Berkata Tsabit:”Aku bertanya kepada Anas, Berapa jumlah mereka yang engkau lihat ?, Beliau berkata: Sekitar tujuh puluh orang”. (Hadits riwayat Bukhori no 69 dan Muslim no 2279).
Hadits ini menunjukan akan wajibnya membaca bismillahkarena Rosulullah  menggunakan fiil amr (kata kerja perintah).
Kalau memang wajib, lantas bagaimana jika seseorang lupa mengucapkannya ketika akan berwudhu dan dia baru ingat di tengah dia berwudhu atau bagaimana jika dia baru ingat setelah berwudhu. Jawabnya:
Jika dia ingat di tengah berwudhu, maka dia tidak perlu mengulangi wudhunya tapi terus melanjutkan wudhunya karena membaca "bismillah" bukan merupakan syarat wudhu. Dan jika dia mengingatnya setelah selesai berwudhu maka wudhunya sah, karena Allah tidak membebani apa yang tidak disanggupi oleh umatnya.


3.  Mencuci Tangan tiga kali

Berkata Syaikh Ali Bassam: "Disunnahkan mencuci dua tangan tiga kali hingga ke pergelangan tangan sebelum memasukkan kedua tangan tersebut ke dalam air tempat wudhu, dan ini merupakan sunnah menurut ijma'. Dan dalil bahwa mencuci kedua tangan hanyalah sunnah bahwasanya tidaklah datang penyebutan mencuci kedua tangan di dalam ayat-ayat (Al-Qur'an). Dan sekedar perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidaklah menunjukan akan wajib, hanyalah menunjukan kemustahabannya. Dan ini adalah qoidah usuliah". (Taudihul Ahkam 1/161).

.
4.BERKUMUR-KUMUR (TAMADLMUDL) DAN BERISTINSYAQ

Khilaf diantara para Ulama:
Imam yang tiga (Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi'i) dan Sufyan At-Tsauri dan yang lainnya berpendapat tidak wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq tetapi hanya sunnah. Dalil mereka yaitu hadits tentang عشر من سنن المرسلين (sepuluh dari sunnah para nabi), diantaranya yaitu beristinsyaq. Dan sunnah bukanlah wajib
Namun pendalilan ini sangat lemah. Yang dimaksud dengan sunnah dalam hadits tersebut adalah "toriqoh" bukan sunnah menurut istilah fiqh (sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa), karena istilah ini adalah istilah yang baru.
Sedangkan Imam Ahmad berpendapat akan wajibnya berkumur-kumur dan beristinsyaq, dan ini juga pendapat Ibnu Abi Laila dan Ishaq. Dalil-dalil mereka:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya.
- Allah ta'ala berfirman  (Dan cucilah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah jadi termasuk dalam keumuman perintah Allah ta'ala.
- Adanya hadits-hadits yang menunjukan akan wajibnya. Diantaranya hadits Abu Huroiroh yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْشِقْ
"Barangsiapa yang berwudhu hendaklah dia beristinsyaq"

Dan juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Daruqutni dari hadits Laqith bin Sobroh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
"Jika engkau berwudhu maka berkumur-kumurlah" (Taudihul ahkam 1/173)
Dan setelah beristinsyaq hendaknya beristintsar (menghembuskan air yang ada di hidung)


5. Mencuci wajah

Hukumnya adalah wajib. Dan definisi wajah secara syar'i tidak dijelaskan oleh Syari'at oleh karena itu kita kembalikan kepada maknanya secara bahasa. Wajah adalah apa yang dengannya timbul muwajahah/muqobalah (saling berhadapan). Dan batasannya adalah dari tempat biasanya tumbuh rambut kepala hingga ke ujung bawah dagu (secara vertikal), dan dari telinga ke telinga (secara horizontal). (Taudihul Ahkam 1/170)
Bagi yang punya jenggot ?
Hadits Rosulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عُثْمَانَ t قّالَ: إِنَّ النَّبِيَّ r كَانَيُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ فِيْ الْوُضُوْءِ
Dari Utsman berkata: "Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyela-nyela jenggotnya ketika berwudhu. (Hadits shohih, riwayat Tirmidzi)

Dan juga hadits Anas:

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْمَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِلِحْيَتَهُ وَقَالَ هَكَذَا أَمَرَنِيْ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ

Bahwasanya Nabi jika berwudhu beliau mengambil segenggam air (dengan tangannya-pent) lalu beliau memasukkannya di bawah mulutnya kemudian beliau menyela-nyela jenggot dengannya. Dan beliau berkata:"Demikianlah Robku عَزَّ وَ جَلَّ memerintah aku".
 (Irwaul golil no 92)

Menyela-nyela jenggot ada dua hukum:
- Jika jenggot tersebut tipis sehingga kelihatan kulit wajah (dagu), maka hukumnya wajib menyela-nyela jenggot hingga mencuci kulit wajah yang nampak tersebut dan juga mencuci pangkal jenggot.
- Jika jenggot tersebut tebal sehingga tidak nampak kulit wajah (dagu), maka hukum menyela-nyela janggut bagian dalam (pangkal jenggot) dan mencuci kulit wajah adalah sunnah tidak wajib. Karena termasuk hukum bagian dalam yang tersembunyi. Adapun bagian luar jenggot maka wajib dicuci karena dia merupakan perpanjangan wajah (Tadihul Ahkam 1/177 dan Syarhul Mumti' 1/140 )


6.  Mencuci Kedua tangan

Dicuci dari ujung-ujung jari hingga ke siku Tangan kanan terlebih dahulu tiga kali, kemudian baru tangan kiri.
Apakah siku ikut dicuci atau tidak ?. Allah ta'ala berfirman:
وَأَيْديَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
(Dan cucilah) tangan-tangan kalian hingga ke siku-siku
Sebab إِلَى menurut para ahli nahwu bisa berarti akhir dari puncak, baik untuk waktu maupun tempat. Misalnya untuk waktu ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى الليْلِ (Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam) dan untuk tempat misalnya مِنَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى (Dari masjidil Harom hingga ke masjidi Aqso).
Adapun yang datang setelah إِلَى maka boleh masuk kepada yang sebelum إِلَى (sehingga ketika itu إِلَىbermakna مَعَ sebagaimana firman Allah ta'ala وَلاَتَأْكُلُوْاأَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَلِكُمْ  ) dan bisa juga tidak masuk kepada apa yang sebelum إِلَى , dan ini semua diketahui dengan qorinah (indikasi) (Taudihul Ahkam 1/160). Adapun dalam permasalahan ini yang benar bahwasanya siku masuk dalam daerah cucian dengan adanya qorinah dari hadits yang menunjukan akan hal itu. Diantaranya:

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ إِذَا تَوَضَّأَأَدَارَ الْمَاءَ عَلَى مِرْفَقَيْهِ

Dari Jabir berkata:"Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika berwudhu, beliau memutar air ke kedua sikunya" (Diriwayatkan oleh Darqutni dengan sanad yang dho'if) Tapi haditsnya dhoif (Taudihul Ahkam 1/191)
Namun ada hadits yang lain yaitu hadits Abu Huroiroh

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُحَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُحَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ:هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ يَتَوَضَّأُ

Abu Huroiroh berwudhu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata: "Demikianlah aku melihat Rosulullah berwudhu" (Hadits shohih riwayat Muslim, Irwaul Golil no 94)

Apakah disunnahkan mencuci tangan hingga ke lengan atas dan mencuci kaki hingga ke betis sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Huroiroh  ?
Untuk masalah ini (memanjangkan daerah wudhu hingga ke lengan atas dan betis demikian juga ke leher ketika mencuci wajah) ada khilaf dikalangan para ulama. Jumhur ulama (Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah) berpendapat bahwa hal ini disunnahkan. Imam Nawawi berkata: "Telah bersepakat para sahabat kami atas mencuci apa yang di atas kedua siku dan kedua mata kaki" Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan panjangnya tersebut. Mereka berdalil dengan hadits Abu Huroiroh dalam riwayat yang lain:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْت رَسُوْلَاللهِ  يَقُوْلُ: إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَالْقِيَامَةِ غُرًّا مُهَجَّلِيْنَ مِنْ آثَارِالْوُضُوْءِ فَمَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْيُطِيْلَ غُرَّتَهُ وَتَحْجِيْلَهُ فَلْيَفْعَلْ

Dari Abu Huroiroh  berkata: Aku mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya umatku dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajah-wajah, tangan-tangan dan kaki- kaki mereka karena bekas wudhu, maka barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya dan tahjilnya maka lakukanlah" (Hadits riwayat Bukhori dan Muslim)

Sedangkan Imam Malik berpendapat tidak disunnahkannya hal ini (memanjangkan wudhu melewati tempat yang diwajibkan). Dan ini merupakan pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan juga dipilih oleh ulama sekarang seperti Syaikh Adurrohman As-Sa'di, Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin, dan Syaikh Al-Albani.
Dalil mereka (Taudihul Ahkam 1/182):
- Seluruh sahabat yang mensifatkan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kecuali hanya sampai kedua siku dan kedua mata kaki

- Dalam ayat (Al-Maidah:6) tempat anggota wudhu hanya dibatasi pada siku dan dua mata kaki
Adapun perkataan:"Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan, dst…..", ini bukanlah perkataan Rosululah  tetapi merupakan mudroj (tambahan perkataan) dari Abu Huroiroh.  Dalam musnad Imam Ahmad, Nu'aim Al-Mujmiri perowi hadits ini berkata: "Aku tidak tahu perkataan ("Barang siapa yang mampu untuk memanjangkan gurrohnya hendaklah dia melakukannya") merupakan perkataan Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau perkataan Abu Huroiroh". Berkata Ibnul Qoyyim:"Tambahan ini adalah mudroj dari perkataan Abu Huroiroh bukan dari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini telah dijelaskan oleh banyak Hafiz". Bahkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim(no 250) dari Abi Hazim, beliau berkata: "Aku dibelakang Abu Huroiroh dan dia sedang berwudhu untuk sholat, dan dia mencuci tangannya hingga ke ketiaknya. Maka aku berkata kepadanya:"Wahai Abu Huroiroh, wudhu apa ini?", maka beliau berkata:"Wahai Bani Farrukh, apakah engkau disini?, Kalau aku tahu engkau di sini maka aku tidak akan berwudhu seperti ini. Aku telah mendengar kekasihku (yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda: Panjangnya perhiasan seorang mukmin tergantung panjangnya wudhu". Hadits ini jelas menunjukan bahwa wudhu yang dilakukan oleh Abu Huroiroh  hanyalah ijtihad beliau t saja


- Kalau kita terima hadits ini, maka kita harus mencuci wajah hingga ke rambut. Dan ini tidak lagi disebut gurroh. Karena yang namanya gurroh hanyalah di wajah saja. (Lihat penjelasan Ibnul Qoyyim dalam Irwaul Golil 1/133). Demikian juga kita harus mencuci tangan kita hingga ke lengan atas. Orang yang membolehkan hal ini berdalil dengan hadits Abu Huroiroh bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِ حَيْثُ يَبْلُغُالْوُضُوْءُ

(Panjangnya) perhiasan seorang mukmin tergantung (panjang) wudhunya. (Riwayat Muslim)

Namun ini tidaklah benar karena namanya perhiasan hanyalah dipakai di lengan bawah bukan di lengan atas


7. Membasahi kedua tangan lalu membasuh kepala dan kedua telinga

Caranya sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid. Dan cukup diusap tidak boleh dicuciBarangsiapa yang mencucinya maka dia telah menyelisihiperintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah mewajibkan kita untuk mengusap bukan mencuci karenamencuci kepala bisa memberatkan kaum musliminterutama ketika musim dinginSelain itu jika kepalasering dalam keadaan basah maka bisa menimbulkanpenyakit. Dan perbedaan antara mengusap dan mencuciyaitu mencuci membutuhkan aliran air sedangkanmengusap tidak.(Syarhul Mumti' 1/150)

 

Dan disunnahkan mengusap kepala hanya sekalinamunboleh terkadang juga tiga kali, sebagaimana telah shohihdari Utsman  bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengusap kepalanya tiga kali. (ShohihSunan Abu Dawud no 95, lihat Tamamul Minnah hal 91).

 

Para ulama berselisih tentang wajibnya mengusapseluruh kepala. Abu Hanifah dan As-Syafi'i berpendapatakan bolehnya mengusap sebagian kepalakarena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanya mengusapubun-ubun beliau ketika berwudhu. Selain itu huruf بyang terdapat dalam ayat (بِرُؤُوْسِكُمْbisa bermakna "sebagian".

 

Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad akan wajibnyamengusap seluruh kepala karena demikianlah yang ada dalam hadits-hadits yang shohih dan hasanSyaikhul Islam berkata: "Tidak dinukil dari seorang sahabatpunbahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammencukupkan membasuh sebagian kepalaBerkata IbnulQoyyim ;"Tidak ada sama sekali satu haditspun yang shohih bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah mencukupkan membasuh sebagian kepala" (Taudihul Ahkam 1/169). Dan inilah pendapat yang rojihkarena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya ketika dia memakai sorbansebagaimana dalam hadits:

عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ t أَنَّ النَّبِيَّ r تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَىالْعِمَامَةِ وَالْخُفَّيْنِ

Dari Mugiroh bin Syu'bah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu' lalu beliau mengusap ubun-ubunnya dan atas sorbannya dan kedua khufnya. (Riwayat Muslim)

 

Dari hadits ini bisa ada 2 kemungkinan:

- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah hanyamengusap sorbannya dan pernah hanya mengusapkepalanya dimulai dari ubun-bunnya. (Taudihul Ahkam 1/187)

- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap ubun-ubunnya lalu melanjutkan mengusap sorbannya. (Dan semua kemungkinan ini dibolehkan oleh Sidiq Hasan Khon dalam Ar-roudlotun Nadiah)

 

Sedangkan makna ب untuk makna tab'id (sebagiantidakada dalam bahasa Arab sebagaimana dijelaskan olehSyaikh Utsaimin (Syarhul mumti' 1/151)

 

Mengusap kedua telinga

 

Dan dalam mengusap kepala disertai dengan mengusapkedua telingaSesuai dengan hadits.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو ، فِيْ صِفَةِالْوُضُوْءِ قَالَثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ،وَأَدْخَلَ إِصْبَعَيْهِ السَّبَاحَتَيْنِ فِيْأُذُنَيْهِ وَمَسَحَ بِإِبْهَامَيْهِ ظَاهِرَ أُذُنَيْهِ

Dari Abdillah bin 'Amr tentang sifat wudhu, berkata: "Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusapkepalanya dan memasukkan kedua jari telunjuknyakedalam kedua telinganya dan mengusap bagian luarkedua telinganya dengan kedua ibu jarinya" (Hadits hasandiriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i dan dishohihkanoleh Ibnu Khuzaimah).(Taudihul Ahkam 1/166)

 

Dan juga hadits Ibnu Abbas:

أَنَّ النَّبِيَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَ أُذُنَيْهِظَاهِرَُمَا وَ بَاطِنَهُمَا

"Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengusap kepalanya dan kedua telinganya baik bagianluar maupun yang bagian dalam" (Hadits shohih,dishohihkan oleh TirmidziIrwaul Golil no 90)

 

Dan ketika mengusapnya tidak perlu air yang baruBerkata Ibnul Qoyyim:"Tidak ada riwayat yang tsabit dariNabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau mengambil air yang baru untuk mengusap keduatelinganya". Sedangkan hadits yang diriwayatkan olehBaihaqi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengambil air yang baru bukan dari air bekas mengusapkepalanya adalah dlo'if. Yang shohih yaitu bahwasanyaNabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam mengusap kepalanyadengan air yang bukan sisa (untuk mencucikeduatangannya. (Taudlihul Ahkam 1/180).

 

Hukum mengusap kedua telinga adalah wajib karena (Taudlihul Ahkam 1/168):

•      Termasuk dari keumuman perintah dalam ayat (وَامْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ), dan telinga termasuk kepala (baikmenurut bahasa, 'urfmapun syar'i), sebagaimana hadits: الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ (kedua telinga itu termasuk kepalalihat As-Shohihah no 36, dan pendapat akan sunnahnya (tidakwajibtimbul karena menganggap hadits ini lemah).

•      Hikmah diusapnya telinga selain untuk sempurnanyakebersihan telinga baik yang luar maupun yang dalam, juga membersihkan dosa-dosa yang telah dilakukan olehtelinga.


8MENCUCI KAKI KANAN TIGA KALI HINGGA MATA KAKI, DAN DEMIKIAN PULA YANG KIRI

Mencuci kedua kaki hukumnya adalah wajib, sesuai perintah Allah ta'ala  وَأَرْجَلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (…Dan kaki-kaki kalian hingga ke mata kaki).

Dan cara mencucinya yaitu mencuci dari ujung-ujung jari kaki hingga (bersama) mata kaki sebagaimana disebutkan dalam ayat. Dan ini telah disepakati oleh Ahlus-Sunnah wal jama'ah. Berbeda halnya dengan Syi'ah. Mereka beranggapan bahwa mengusap kaki sudahlah cukup dan tidak usah sampai ke mata kaki tapi cukup ke punggung kaki. Dalil mereka yaitu:

- Adanya qiroat lain dalam ayat (وَأَرْجَلِكُمْ) yaitu dengan dikasrohkan huruf ل tidak di fathah sehingga atofnya kepada kepala bukan pada wajah. Ini menunjukkan bahwa hukum kaki sama dengan hukum kepala (sama-sama diusap).


- Ka'ab yang disebutkan dalam ayat datang dalam bentuk mutsanna (yang menunjukan dua), padahal jumlah ka'ab untuk dua kaki adalah empat. Sehingga makna ka'ab dalam ayat bukanlah mata kaki tetapi punggung kaki. (Syarhul mumti' 1/153)

Namun pendapat mereka ini adalah salah. Bantahannya:
- Qiro'ah yang tujuh adalah dengan memfathahkan huruf ل. Dan qiro'ah ini jelas menunjukan akan wajibnya. Adapun riwayat yang dikasrohkan ل, walaupun shohih namun tidak merubah hukum. Dan hal ini boleh dalam bahasa arab yaitu أَرْجُلِ dikasrohkan karena mujawaroh (bertetangga) dengan بِرُؤُوْسِ . Sebagaimana dalam firman Allah ta'ala dalam surat Hud ayat 26 (عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيْمٍ). أَلِيْمٍmerupakan sifat dari عَذَابَ tetapi dia majrur karena bertetangga dengan يَوْمٍ .(Syarhus Sunnah 1/430)
- Kalaupun qiro'ah  yang dikasroh merubah hukum maka bisa dibawakan bagi hukum mengusap kaki ketika memakai khuf. (Syarhul mumti' 1/176)


- Kalau boleh membasuh kaki maka bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: تَخَلَّفَعَنَّا رَسُوْلُ اللهِ  فِيْ سَفَرٍ سَفَرْنَاهُ،فَأَدْرَكَنَا وَقَدْ أَرْهَقَتْنَا الصَّلاَةُ، صَلاَةُالْعَصْرِ وَنَحْنُ نَتَوَضَّأُ، فَجَعَلْنَا نَمْسَحُعَلَى أَرْجُلِنَا، فَنَادَاناَ بِأَعْلَى صَوْتِهِ:"وَيْلُ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ"
Dari Abdullah bin Amr berkata: "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketinggalan dari kami dalam suatu safar yang kami bersafar bersama beliau, lalu (setelah menyusul kami-pent) beliau mendapati kami - (dan ketika itu) telah datang waktu sholat yaitu sholat asar- kami sedang berwudhu, maka kami mengusap kaki-kaki kami. Lalu Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berteriak kepada kami dengan suaranya yang keras:"Celakalah tumit-tumit (yang tidak terkena air wudhu) dengan api"  (Hadits shohih riwayat Bukhori dan Muslim)
Kalau memang mengusap kaki boleh tentu tidak mengapa tumit tidak terkena air.

- Mencuci kaki harus sampai mata kaki, sebagaimana dijelaskan oleh hadits Abu Huroiroh

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ تَوَضَّأَ فَغَسَلَ يَدَهُحَتَّى أَشْرَعَ فِيْ العَضُدِ، وَرِجْلَهُحَتَّى أَشْرَعَ فِيْ السَّاقِ، ثُمَّ قَالَ:هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُلَ اللهِ  يَتَوَضَّأُ
Abu Huroiroh berwudhu maka dia mencuci tangannya hingga naik ke lengan atas dan dia mencuci kakinya hingga naik ke betisnya, lalu dia berkata: "Demikianlah aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu" (Hadits shohih riwayat Muuslim, irwaul golil no 94)

Dan tidak mungkin mencuci betis kecuali juga mencuci mata kaki. Dan kalau cuma diusap sampai punggung kaki maka tumit boleh tidak terkena air. Dan ini bertentangan dengan hadits Abdullah bin Amr di atas.

Perlu diingat ketika mencuci kaki disunnahkan untuk menyela jari-jari kaki dan juga jari-jari tangan (Taudihul Ahkam 1/175), sebagaimana hadits:
عَنْ لَقِيْط بْن صَبْرَةَ قَالَ: قَالَرَسُوْلُ اللهِ: أَسْبِغِ الْوُضُوْءَ، وَخَلِّلْبَيْنَ الأَصَابِعِ، وَبَالِغْ فِيْ الإِسْتِنْشَاقِإِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
Dari Laqith bin Sobroh berkata: Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:"Sempurnahkanlah wudhu dan sela-selalah jari-jari dan bersungguh-sungguhlah ketika beristinsyaq kecuali engkau sedang berpuasa" (Hadits shohih, dishohihkan oleh Ibnu Khuzaimah).


  • Adapun menyela jari-jari kaki dengan jari tangan yang kelingking, maka ini hanyalah istihsan dari para ulama dan tidak bisa dikatakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkata Ibnul Qoyyim dalam zadul ma'ad:"…Dalam (kitab) sunan dari Mustaurid bin Syadad berkata: "Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dan dia menggosok jari-jari kakinya dengan jari tangan kelingkingnya" Kalau riwayat ini benar  [1]¨) maka sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya melakukannya sekali-kali. Oleh karena itu sifat seperti tidak diriwayatkan oleh para sahabat yang memperhatikan wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Utsman, Abdullah bin Zaid dan selain keduanya. Lagipula dalam riwayat tersebut ada Abdullah bin Lahiah." (Syarhul Mumti' 1/143).

9.   Membaca Do'a Setelah Wudh

Yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُسْبِغُالْوُضُوْءَ ثُمَّ يَقُوْلُ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَإِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسوْلُهُ, إِلاَّفُتِحَتْ لَهُ أبْوأبُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُيَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
"Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian berkata:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاََّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُوَرَسوْلُهُ
kecuali akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan dan dia masuk dari pintu mana saja yang dia sukai". (Hadits riwayat Muslim, irwaul golil no 96)

Dan juga tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi:

أللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنَ التَّوَّابِيْنَوَاجْعَلْنِي مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersih.

Sebagian ulama menganggap tambahan ini dhoif karena idtirob sanadnya, namun yang benar tambahan ini adalah shohih menurut Syaikh Al-Albani (Tamamul Minnah hal 96).

Disunnahkan pula untuk berkata setelah wudhu:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلهَ إلاَّأَنْتَ ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
(Dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri, lihat Irwaul golil 1/135 dan 2/94)

Wallahu ta'ala a'lam

*************
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Apa Alasanku Untuk Tidak berayukur?

Bismillaahirrohmaanirrohiim.. وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ   “Dan seg...