Telusuri

Kamis, 23 Maret 2017

Keutamaan Shalat Dhuha

Keutamaan Shalat Dhuha

Mengenai keutamaan shalat Dhuha, telah diriwayatkan beberapa hadits yang diantaranya dapat saya sebutkan sebagai berikut

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda

“Bagi masing-masing ruas[1] dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah. Setiap tasbih (Subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahtil (Laa Ilaaha Illallaah) adalah sedekah, menyuruh untuk berbuat baik pun juga sedekah, dan mencegah kemunkaran juga sedekah. Dan semua itu bisa disetarakan ganjarannya dengan dua rakaat shalat Dhuha”. Diriwayatkan oleh Muslim[2]

Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman.

“Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi[3]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, dia berkata :”Tidak ada yang memelihara shalat Dhuha kecuali orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaab)”. Dan dia mengatakan, “Dan ia merupakan shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabin)”. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. [4]

Hukum Shalat Dhuha
Hadits-hadits terdahulu dan juga yang semisalnya menjelaskan bahwa shalat Dhuha pada waktu Dhuha (pagi hari) merupakan suatu hal yang baik lagi disukai. [5]

Selain itu, di dalam hadits-hadits tersebut juga terkandung dalil yang menunjukkan disyariatkannya kaum muslimin untuk senantiasa mengerjakannya. [6]

Dan tidak ada riwayat yang menujukkan diwajibkannya shalat Dhuha

Waktu Shalat Dhuha
Waktu shalat Dhuha dimulai sejak terbit matahari sampai zawal (condong). Dan waktu terbaik untuk mengerjakan shalat Dhuha adalah pada saat matahari terik.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah sebagai berikut.

Adapun permulaan waktunya, telah ditunjukkan oleh hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma terdahulu. Letak syahidnya di dalam hadits tersebut adalah ; “Ruku-lah untuk-Ku dari awal siang sebanyak empat rakaat”.

Demikian juga riwayat yang datang dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit dan kemudian mengerjakan shalat dua raka’at [7], maka pahala shalat itu baginya seperti pahala haji dan umrah, sepenuhnya, sepenuhnya, sepenuhnya” [8]

Dari Abu Umamah, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berada di dalamnya sehingga dia mengerjakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang menunaikan ibadah haji atau orang yang mengerjakan umrah, sama persis (sempurna) seperti ibadah haji dan umrahnya”. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.

Dan dalam sebuah riwayat disebutkan.

“Barangsiapa mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah, kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit…” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[9]

Adapun keluarnya waktu shalat Dhuha pada waktu zawal, karena ia merupakan shalat Dhuha (pagi).

Sedangkan waktu utamanya telah ditunjukkan oleh apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Arqam, bahwasanya dia pernah melihat suatu kaum yang mengerjakan shalat Dhuha. Lalu dia berkata “Tidaklah mereka mengetahui bahwa shalat selain pada saat ini adalah lebih baik, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda.

“Shalat awaabiin (orang-orang yang kembali kepada Allah) adalah ketika anak-anak unta sudah merasa kepanasan”[10]. Diriwayatkan oleh Muslim [11]

Jumlah Rakaat Shalat Dhuha Dan Sifatnya
Disyariatkan kepada orang muslim untuk mengerjakan shalat Dhuha dengan dua, empat, enam, delapan atau dua belas rakaat.

Jika mau, dia boleh mengerjakannya dua rakaat dua rakaat.
Adapun shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat telah ditunjukkan oleh hadits Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Bagi masing-masing ruas dari anggota tubuh salah seorang di antara kalian harus dikeluarkan sedekah …Dan semua itu setara dengan ganjaran dua rakaat shalat Dhuha” Diriwayatkan oleh Muslim.[12]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan empat rakaat, telah ditunjukkan oleh Abu Darda dan Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Allah yang Mahaperkasa lagi Mahamulia, dimana Dia berfirman :”Wahai anak Adam, ruku’lah untuk-Ku empat rakaat di awal siang, niscaya Aku akan mencukupimu di akhir siang” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi. [13]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan enam rakaat, ditunjukkan oleh hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dhuha enam rakaat” Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa-il. [14]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan delapan rakaat ditunjukkan oleh hadits Ummu Hani, di mana dia bercerita :”Pada masa pembebasan kota Makkah, dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berada di atas tempat tinggi di Makkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beranjak menuju tempat mandinya, lalu Fathimah memasang tabir untuk beliau. Selanjutnya, Fatimah mengambilkan kain beliau dan menyelimutkannya kepada beliau. Setelah itu, beliau mengerjakan shalat Dhuha delapan rekaat” [15] Diriwayatkan Asy-Syaikhani. [16]

Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud Darda Radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepada-Nya” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.[17]

Dapat saya katakan bahwa berdasarkan hadits-hadits ini, diarahkan kemutlakan yang diberikan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha saat ditanya oleh Mu’adzah :”Berapa rakaat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Dhua?” Dia menjawab : “Empat rakaat dan bisa juga lebih, sesuai kehendak Allah” [18]

Dan shalat Dhuha yang dikerjakan dua rakaat dua rakaat, telah ditunjukkan oleh keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Shalat malam dan siang itu dua rakaat dua rakaat” [19]

Dan seorang muslim boleh mengerjakan shalat Dhuha empat rakaat secara bersambungan, sebagaimana layaknya shalat wajib empat rakaat. Hal itu ditunjukkan oleh kemutlakan lafazh hadits-hadits mengenai hal tersebut yang telah disampaikan sebelumnya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Ruku’lah untuk-Ku dari permulaan siang empat rakaat”. Dan juga seperti sabda beliau :”Barangsiapa mengerjakan shalat (Dhuha) empat rakaat maka dia ditetapkan termasuk golongan ahli ibadah” Wallahu a’lam

[Disalin dari kitab Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu, Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Penulis Kitab Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i]

Telah diringkas (bukan menghilangkan atau merubah dalil yang ada, namun merangkumnya kepada pokok-pokok yang penting, agar mempermudah memahaminya.)

__________________________

Footnote
[1]. Kata sulaamaa adalah bentuk mufrad (tunggal) dan jamaknya adalah as-sulaamiyaatu yang berarti ruas jari-jemari. Kemudian kata itu dipergunakan untuk seluruh tulang dan ruas badan. Lihat kitab, Syarh Muslim, An-Nawawi V/233

[2]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim, di dalam kitab Shalaatut Musaafirin wa Qashruha, bab Istihbaabu Shalaatidh Dhuha wa Anna Aqallaha Rak’aatani wa Akmalaha Tsamaanu Raka’aatin wa Ausathuha Arba’u Raka’aatin au Sittin wal Hatstsu ‘alal Muhaafazhati ‘alaiha, (hadits no. 720). Lihat juga kitab, Jami’ul Ushuul (IX/436)

[3]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam kitab, Al-Musnad (VI/440 dan 451). Dan juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalaah, bab Maa Jaa-a fii Shalaatidh Dhuha, (hadits no. 475)
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan : ‘Hasan gharib” Dan dinilai shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi. Juga dinilai shahih oleh Al-Albani di dalam kitab, Shahih Sunan At-Tirmidzi, (I/147). Serta dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab, Jaami’ul Ushuul (IX/4370.

[4]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (II/228), Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (I/314), dan lafazh di atas milik keduanya. Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Ausath (II/279-Majma’ul Bahrain) tanpa ucapan :”Dan ia adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada Allah (Awwaabiin)”.
Dan hadits di atas dinilai shahih oleh Al-Hakim dengan syarat Muslim. Dan dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab, Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah (hadits no. 1994).

[5]. Majmuu’al Al-Fataawaa (XXII/284)

[6]. Dan inilah yang tampak, yang ditunjukkan oleh hadits-hadits terdahulu. (Nailul Authaar III/77).
Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah menetapkan kesepakatan para ulama tas sunnahnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus, kemudian menetapkan hukum sunnatnya, dimana dia mengatakan : “Muncul pertanyaan : ‘Apakah yang lebih baik, mengerjakan secara terus menerus ataukah tidak secara terus menerus seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Inilah di antara yang mereka pedebatkan”. Dan yang lebih tepat adalah dengan mengatakan ;”Barangsiapa mengerjakan qiyaamul lail secara terus menerus, maka tidak perlu lagi baginya untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan barangsiapa yang tertidur sehingga tidak melakukan qiyamul lail, maka shalat Dhuha bisa menjadi pengganti bagi qiyamul lail” Majmu Al-Fataawaa (XXII/284).
Dapat saya katakan, (tetapi) lahiriyah nash menunjukkan disunnatkannya secara mutlak untuk mengerjakan shalat Dhuha secara terus menerus. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meninggalkan suatu amalan padahal beliau sangat suka untuk mengerjakannya karena beliau takut hal tersebut akan dikerjakan secara terus menerus oleh umat manusia sehingga akan diwajibkan kepada mereka. Dan inilah illat (alasan) tidak dikerjakannya shalat Dhuha secara terus menerus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian, nash-nash itu secara mutlak seperti apa adanya. Hal yang serupa seperti itu telah diisyaratkan oleh Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, lihat kitab Jaami’ul Ushuul (VI/108-109).

[7]. Ath-Thibi mengatakan : “Shalat ini disebut shalat Isyraq, yaitu permulaan shalat Dhuha. Dia nukil di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/405)
Dapat saya katakan, telah saya sampaikan kepada anda mengenai hal itu yang lebih luas dari sekedar isyarat ini. Lihat pembahasan tentang shalat Isyraq sebelumnya.

[8] Hadits hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam Kitaabush Shalah, bab Dzikru Maa Yustahabbu minal Julus fil Masjid Ba’da Shalaatish Shubhi Hatta Taathlu’a Asy-Syams
Mengenai hadits ini, At-Tirmidzi mengatakan :”Hasan gharib”. Dengan beberapa syahidnya, hadits ini dinilai hasan oleh Al-Mubarakfuri di dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (I/406). Dan disepakati oleh Syaikh Akhmad Syakir di dalam tahqiqnya pada At-Tirmidzi (II/481). Juga dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi (I/182). Dan dengan beberapa syahidnya, dinilai hasan oleh muhaqqiq kitab Jaami’ul Ushuul (IX/401).
Dapat saya katakan, di antara syahidnya adalah hadist berikutnya.

[9]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jamul Kabiir (VIII/174), 181 dan 209)
Sanad hadits di atas dinilai jayyid oleh Al-Mundziri dan Al-Haitsami. Dan dinilai hasa oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wa Tarhiib (I/189). Dan lihat juga kitab, Majmu’uz Zawaa’id (X/104)

[10]. Di dalam kitab, Syarh An-Nawawi (VI/30). Imam Nawawi mengatakan : Ar-Ramdhaa’ berarti kerikil yang menjadi panas oleh sinar matahari. Yaitu, ketika anak-anak unta sudah merasa panas. Al-Fushail berarti anak unta yang masih kecil”. Lihat juga, Nailul Authaar (II/81)
[11]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalaatul Musaafirin wa Qasruha, bab Shalatut Awaabiin Hiina Tarmudhil Fihsaal, hadits no. 748.

[12]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[13]. Takhrijnya telah diberikan sebelumnya

[14]. Hadits shahih lighairihi. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi di dalam kitab Asy-Syamaa’il, bab Shalatudh Dhuha, (hadits no. 273) hadits ini dinilai shahih lighairihi di dalam kitab, Mukhtashar Asy-Syamaailil Muhammadiyyah, (hal. 156). Beberapa sahid dan jalannya telah disebutkan di dalam kitab Irwaaul Ghaliil (II/216).

[15]. Di dalam hadits tersebut terdapat bantahan bagi orang yang mengaku bahwa shalat ini adalah shalat al-fath (pembebasan), bukan shalat Dhuha. Lihat kitab, Zaadul Ma’ad (III/4100 dan juga Aunul Ma’buud (I/497)

[16]. Hadits shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam beberapa tempat di antaranya : Kitaabut Tahajjud, bab Shalaatudh Dhuhaa fis Safar (hadits no. 1176). Dan juga Muslim di dalam Kitaabul Haidh, bab Tasturuk Mughtasil bi Tsaubin au Nahwahu (hadits no. 336). Dan lafazh di atas adalah miliknya. Dan lihat juga kitab Jaami’ul Ushuul (VI/110).

[17]. Hadits ini disebutkan oleh Al-Haitsami di dalam kitab Majma’uz Zawaa’id (II/237) dan dia mengatakan : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Kabiir. Di dalamnya terdapat Musa bin Ya’qub Az-Zam’i. Dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu’in dan Ibnu Hibban serta dinilai dha’if oleh Ibnul Madini dan lain-lainnya. Dan sisa rijalnya adalah tsiqah.
Dapat saya katakan, Musa bin Ya’qub seorang yang shaduq, yang mempunyai hafalan buruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab, At-Taqriib (hal. 554). Dan diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab Kasyful Astaar (II/334), yang diperkuat oleh syahid dari Abu Dzar. Dan disebutkan oleh Al-Mundziri di dalam kitab At-Targhiib. Hadits Abud Darda dan Abu Dzar Radhiyalahu ‘anhuma dinilai hasan oleh Al-Albani di dalam kitab Shahih At-Targhiib wat Tarhiib (I/279).

[18]. Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shalatul Musafirin wa Qasruha, bab Istihbaabu Shaalatid Dhuha wa Anna Aqallaha Rak’ataani wa Akmalaha Tsamaanu Rak’atin wa Ausathuha Arba’u Rak’atin au Sittin wa Hatstsu ‘alal Muhaafazhati Alaiha, (hadits no. 719).

[19]. Hadits shahih. Takhrijnya sudah diberikan sebelumnya

Peringatan.

Ada sebuah riwayat untuk hadits Ummu Hani terdahulu dengan lafazh : “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam pernah mengerjakan shalat Dhuha delapan rakaat. Beliau mengucapkan salam setiap dua rakaat’. Dan hadits Ummu Hani asalnya terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain, tetapi tidak dengan lafazh ini.
Dan diriwayatkan oleh Abud Dawud di dalam Kitaabush Shalaah, bab Shalatudh Dhuha (hadits no. 1234, II/234).
Dan dalam sanad yang ada pada keduanya terdapat Iyadh bin Abdillah. Yang meriwayatkan darinya adalah Abdullah bin Wahb. Mengenai pribadi Iyadh ini. Abu Hatim mengatakan :”Dia bukan seorang yang kuat”. Dan Ibnu Hibban menyebutnya di dalam deretan tsiqat. As-Saaji mengatakan : “Darinya, Wahb bin Abdillah meriwayatkan beberapa hadits yang di dalamnya masih mengandung pertimbangan”. Yahya bin Ma’in mengatakan :”Dia seorang yang haditsnya dha’if”. Abu Shalih mengatakan ;”Ditegaskan, dia memiliki kesibukan yang luar biasa di Madinah, di dalam haditsnya terdapat sesuatu” Al-Bukhari mengatakan : “Haditsnya munkar” Tahdziibut Tahdziib (VIII/201).
Dapat saya katakan, haditsnya di sini diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, darinya. Yang tampak secara lahiriyah dari keadaan orang ini, bahwa dia tidak dimungkinkan untuk meriwayatkan seorang diri, sedangkan lafazh ini dia riwayatkan sendiri. Wallahu a’lam
Dengan lafazh ini, hadits ini dinilai dha’if (lemah) oleh Al-Albani di dalam komentarnya terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah (II/234). Dalam penjelasannya, dia menguraikan secara rinci illatnya di dalam kitab. Tamamul Minnah (hal. 258-259)

Wallahu ta'ala a'lam

Rabu, 22 Maret 2017

Tasawuf dan Ilmu Laduni

Membongkar Kedok Sufi : Tasawuf dan Ilmu Laduni

Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya.
Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat. Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.

Hakikat Ilmu Laduni

Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.

Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri .

1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. ( Jamharatul Auliya’: 155 )

2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. ( Al Mizan: 1/28 )

3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” ( Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4 )
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat

Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. ( Quutul Qulub 3/135 )

Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37 )

Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” ( Tablis Iblis hal. 370)

Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” ( Tablis Iblis:309 )

Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.

Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya

1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
ﻭَﻋَﻠَّﻤْﻨَﺎﻩُ ﻣِﻦ ﻟَّﺪُﻧَّﺎ ﻋِﻠْﻤﺎً
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu” . ( Al Kahfi: 65 )
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” ( Muttafaqun ‘alaihi )
Allah berfirman:

ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺭْﺳَﻠْﻨَﺎﻙَ ﺇِﻟَّﺎ ﻛَﺎﻓَّﺔً ﻟِّﻠﻨَّﺎﺱِ ﺑَﺸِﻴﺮﺍً ﻭَﻧَﺬِﻳﺮﺍً

“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. ( As Saba’: 28)

Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:

ﻭَﻣَﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﺒَﺸَﺮٍ ﻣِّﻦ ﻗَﺒْﻠِﻚَ ﺍﻟْﺨُﻠْﺪَ

(artinya) “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). ” (Al Anbiya’: 34)

Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.

Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.

ﻋَﺎﻟِﻢُ ﺍﻟْﻐَﻴْﺐِ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﻈْﻬِﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻏَﻴْﺒِﻪِ ﺃَﺣَﺪﺍً . ﺇِﻟَّﺎ ﻣَﻦِ ﺍﺭْﺗَﻀَﻰ ﻣِﻦ ﺭَّﺳُﻮﻝٍ

“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. ( Al Jin: 25-26 )

Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya:

ﻫَﻞْ ﺃُﻧَﺒِّﺌُﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦ ﺗَﻨَﺰَّﻝُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦُ . ﺗَﻨَﺰَّﻝُ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﺃَﻓَّﺎﻙٍ ﺃَﺛِﻴﻢٍ . ﻳُﻠْﻘُﻮﻥَ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊَ ﻭَﺃَﻛْﺜَﺮُﻫُﻢْ ﻛَﺎﺫِﺑُﻮﻥَ

“Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. ( Asy Syu’ara: 221-223 )

2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” ( Muttafaqun ‘alaihi )
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah” . (H.R At Tirmidzi )
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Ali bin Abi Thalib:
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)

Wallahu a'lam.

Selasa, 21 Maret 2017

BERSAHABAT DENGAN UJIAN"

بِسْـــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمُ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ
"BERSAHABAT DENGAN UJIAN"

Ada orang yang diuji dengan PASANGAN-nya,
Ada orang yang diuji dengan BELUM DAPAT JODOH,
Ada orang yang diuji dengan KESEHATAN-nya,
Ada orang yang diuji dengan BELUM PUNYA MOMONGAN,
Ada orang yang diuji dengan KARIR-nya,
Ada orang yang diuji dengan PARAS-nya,
Ada orang yang diuji dengan KESUKSESAN-nya,
Ada orang yang diuji dengan KESULITAN REJEKI-nya,
Ada orang yang diuji dengan SEGALA KEMUDAHAN,
Ada orang yang diuji dengan KESEDIHAN AKIBAT KEKECEWAAN,
Dan ada juga orang yang diuji dengan ANAK dan KETURUNANNYA.

Jangan pikir hanya kita seorang yang diuji oleh-NYA.
Jangan tanya kepada-NYA,
"Ya Allah, mengapa harus aku ???
Mengapa semua terjadi padaku ???"

Ketika Allah Ta'ala memberi beban dipundak,
jangan bertanya mengapa kita diberi yang berat.
Tapi mintalah agar pundak kita mampu untuk memikulnya.

Yakinlah akan ada KEMUDAHAN setelah KESULITAN.
Allah Ta'ala memberi kita Ujian ini
karena Allah Ta'ala mengetahui bahwa kita mampu.
Tetaplah Istiqamah meski Iman kita kadang melemah ...

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِيْنَ

“Sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sekalian
agar Kami mengetahui orang-orang yang berjuang
dan orang-orang yang sabar di antara kamu sekalian.”
(QS. Muhammad : 31)

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya, hanya orang-orang yang bersabarlah
yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS. Az-Zumar : 10)                                           
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْن
ٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاه

ُ“Tidaklah seorang muslim tertimpa kecelakaan, kemiskinan, kegundahan, kesedihan, kesakitan maupun keduka-citaan bahkan tertusuk duri sekalipun, niscaya Allah akan menghapus dosa-dosanya
dengan apa yang menimpanya itu.”
(HR. Bukhari)

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيْبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ
إِلَّا حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا

"Tidak ada seorang muslim yang tertimpa cobaan
berupa sakit maupun selainnya,
melainkan dihapuskan oleh Allah Ta'ala dosa-dosanya,
seperti sebatang pohon yang menggugurkan daunnya."
(HR. Muslim)

Jangan pernah menghindar,
Jangan pernah lari,
Hadapi semua ini dengan Tawakkal,
Nikmati semua ini dengan Istighfar,
Mungkin ini kasih sayang Allah Ta'ala dalam bentuk Nikmat yang lain,
إن شاء اللَّهِ...
آمِيْن آمِيّنْ آمِيّنْ اللَّهُمَّ آمِيّنْ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

   "Salam santun dan kasih sayang"

Senin, 20 Maret 2017

SHALAT ORANG YANG MASBUQ, JIKA IMAM KELEBIHAN RAKA’AT

SHALAT ORANG YANG MASBUQ, JIKA IMAM KELEBIHAN RAKA’AT

Fiqih : Shalat

Pertanyaan :

Apabila ada seseorang yang shalat dibelakang imam, misalnya shalat Zhuhur. Orang ini datang terlambat sehingga tertinggal satu raka’at dari imam. Saat itu, imam lupa dalam shalatnya dan menambah raka’at kelima. Pertanyaannya, jika dia tahu bahwa imam tadi lupa, apakah makmum yang tertinggal satu raka’at itu harus menambah satu raka’at setelah imam salam ataukah dia cukup dengan empat raka’at yang dikerjakan bersama imam tadi? Mohon penjelasan! Jazakumullah khairan

Jawab :

Pendapat yang shahih (benar) dalam masalah ini adalah orang yang masbûq (tertinggal shalat berjama’ah-red) dalam keadaan seperti ini tidak perlu menambah satu raka’atnya yang tertinggal setelah sempurna shalatnya. Karena sang imam, ketika dia shalat lima raka’at dalam keadaan lupa, shalatnya tetap sah, karena memiliki udzur. Sedangkan makmum yang masbûq ini, jika dia menambahkan satu raka’at setelah imamnya salam, berarti dia telah melakukan shalat (Zhuhur-red) lima raka’at secara sengaja, ini menyebabkan shalatnya batal. Namun jika dia ikut salam bersama imam, berarti dia telah melakukan ibadah shalat (Zhuhur-red) sempurna empat raka’at. Inilah yang wajib atasnya.

Dan ini tidak menyalahi sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا

Maka raka’at yang kamu dapati, maka ikutilah! Dan raka’at yang luput darimu, maka sempurnakanlah![2]

Karena sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “maka sempurnakanlah!” memberi pesan bahwa orang yang tertinggal itu shalatnya kurang (sehingga harus disempurnakan-red), sementara (dalam peristiwa di atas-red) sebagaimana diketahui orang itu tidak kurang shalatnya, karena dia sudah benar-benar mengerjakan empat raka’at.

Berdasarkan ini, maka pendapat yang kuat dan benar adalah shalat orang itu bersama imam benar dan sah, karena dia telah menyempurnakan emapat raka’at. Wallâhul muwaffiq

****

Footnote

[1] Fatâwâ Manâril Islâm, 1/183

[2] HR. Al-Bukhâri, no. 635 dan 636 dan Muslim, no. 602

TAUHID AR-RUBUBIYAH

TAUHID AR-RUBUBIYAH[1]

TAUHID AR-RUBUBIYAH MENGHARUSKAN TAUHID AL-ULUHIYAH[2]

Barangsiapa mengakui Allâh Azza wa Jalla sebagai Penciptanya, Pemiliknya, Pemberi rezeki kepadanya, Pemberi berbagai kenikmatan kepadanya yang tidak terhitung kepadanya, yang terus menerus dalam semua waktu dan keadaan, sejak ia belum dilahirkan sampai meninggal dunia, dan juga mengakui bahwa Allâh sebagai Pengatur segala urusannya, maka pengakuan tersebut menuntutnya bersyukur (berterima kasih) kepada-Nya. Besyukur dengan cara beribadah kepada-Nya, mentaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dia tidak boleh menyekutukan siapapun dari makhluk-Nya dalam beribadah kepada-Nya.[3]

Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla mencela orang-orang musyrik yang mengakui tauhid Rubûbiyah, tetapi mereka tetap menyekutukan Allâh dalam ibadah mereka, dengan mempersembahkan sebagian jenis ibadah kepada selain Allâh  k misalnya doa, menyembelih hewan, dan ibadah lainnya kepada patung atau sesembahan mereka yang lainnya. Ayat-ayat tentang ini banyak sekali, antara lain:

قُلْ لِمَنِ الْأَرْضُ وَمَنْ فِيهَا إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٨٤﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا  تَذَكَّرُونَ

Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui? Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?”

[Al-Mukminûn/23: 84-85]

Perhatikan celaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka dengan kalimat-Nya, “Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak ingat?”

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ مَنْ رَبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ﴿٨٦﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Katakanlah, “Siapakah Rabb (pemilik) langit yang tujuh dan ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.” Katakanlah, “Maka apakah kamu tidak bertakwa?” [Al-Mukminûn/23: 86-87]

Perhatikan celaan Allâh kepada mereka dengan kalimatNya, “Katakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”

Juga firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ مَنْ بِيَدِهِ مَلَكُوتُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴿٨٨﴾ سَيَقُولُونَ لِلَّهِ ۚ قُلْ فَأَنَّىٰ تُسْحَرُونَ

Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?”

Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allâh.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” [Al-Mukminûn/23: 88-89]

Perhatikan celaan Allâh Azza wa Jalla kepada mereka dengan kalimatNya, “Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?”

Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿٢١﴾ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai manusia! Beribadahlah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwaDialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allâh, padahal kamu mengetahui. [Al-Baqarah/2: 21-22]

Pada ayat ke-21, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beribadah kepada-Nya, dan ini adalah perintah pertama dalam al-Qur’an.[4] Kemudian Allâh Azza wa Jalla menyebutkan alasan yang menyebabkan seluruh manusia wajib beribadah hanya kepada-Nya semata. Yaitu karena Allâh Azza wa Jalla merupakan Pemberi berbagai nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Allâh telah menciptakan mereka dari tidak ada, menjadikan bumi sebagai hamparan bagi mereka sehingga mereka bisa menetap di bumi dan memanfaatkannya, dengan membuat bangunan, pertanian dan mencari rezei. Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan langit sebagai atap, dan Dia menciptakan di langit berbagai kebutuhan mereka, seperti matahari, bulan dan bintang-bintang. Allâh Azza wa Jalla juga menurunkan air hujan dari langit, lalu dengan hujan itu Allah k menumbuhkan segala biji-bijian, buah-buahan, kurma dan lainnya, sebagai rezeki untuk mereka.

Kemudian di akhir ayat ke-22, Allâh Azza wa Jalla melarang semua manusia untuk membuat atau mengadakan tandingan-tandingan bagi-Nya, yaitu semua yang diibadahi selain Allâh, karena semua sesembahan selain Allâh Azza wa Jalla itu tidak menciptakan makhluk dan tidak memberi rezeki kepada mereka. Bahkan semuanya diciptakan, diberi rezeki dan di atur oleh Allâh Azza wa Jalla . Bagaimana bisa tandingan-tandingan itu disembah bersama Allâh Azza wa Jalla , padahal orang-orang yang menyembah itu tahu bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak memiliki sekutu dalam Rubûbiyah-Nya dan Ulûhiyah-Nya.[5]

Ibadah adalah hak khusus Allâh Azza wa Jalla , tidak boleh dipersembahkan kepada selain-Nya. Barangsiapa mempersembahkan ibadah dalam segala jenisnya kepada selain-Nya, maka dia telah berbuat zhalim dan berbuat buruk terhadap hak Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana nasehat Luqman kepada anaknya:

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

Hai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allâh, sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” [Luqman/31: 13]

Diriwayatkan dari Sahabat al-Hârits al-Asy’ari, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , bahwa Nabi Zakaria Alaihissallam memerintahkan Bani Israil untuk mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , beliau berkata:

أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، فَإِنَّ مَثَلَ ذَلِكَ مَثَلُ رَجُلٍ اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ بِوَرِقٍ أَوْ ذَهَبٍ، فَجَعَلَ يَعْمَلُ، وَيُؤَدِّي غَلَّتَهُ إِلَى غَيْرِ سَيِّدِهِ، فَأَيُّكُمْ سَرَّهُ أَنْ يَكُونَ عَبْدُهُ كَذَلِكَ، وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ خَلَقَكُمْ وَرَزَقَكُمْ، فَاعْبُدُوهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا.

Kamu harus beribadah kepada Allâh, dan jangan menyekutukan sesuatupun denganNya. Sesungguhnya perumpamaan hal itu (yakni syirik-pen) adalah seperti seseorang yang membeli seorang budak dengan uangnya sendiri, dengan uang perak atau emas, lalu budak itu bekerja dan memberikan hasinya kepada selain majikannya. Siapakah di antara kamu yang suka budaknya berbuat demikian? Sesungguhnya Allâh ‘Azza wa Jalla telah menciptakan kamu, dan memberi rizki kepada kamu, maka  beribadah kepada Allâh, dan jangan menyekutukan sesuatupun denganNya. [HR. Ahmad, no. 17170, 17800; Tirmidzi, no. 2863, 2864; dll]

Semakna dengan hadits di atas adalah penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang  diriwayatkan di dalam hadits shahih berikut ini:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَأَلْتُ أَوْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ عِنْدَ اللَّهِ أَكْبَرُ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ أَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ خَشْيَةَ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ بِحَلِيلَةِ جَارِكَ قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ}

Dari Abdullah (bin Mas’ud) Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Aku bertanya, atau Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allâh? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan tandingan bagi Allâh, sedangkan Dia telah menciptakanmu (tanpa sekutu)”.  Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau membunuh anakmu karena engkau takut dia makan bersamamu”.  Aku bertanya, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Engkau berzina dengan istri tetanggamu”. Dan turunlah ayat ini membenarkan perkataan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ

Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allâh dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.[6] [HR. Al-Bukhâri, no. 4483]

Mayoritas Manusia Mengakui Tauhid ar-Rubûbiyah

Tauhid ar-Rubûbiyah ini diakui oleh mayoritas manusia di zaman dahulu dan sekarang. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali sedikit, seperti Fir’aun dan para pembesarnya yang mengingkari keberadaan Allâh sama sekali. Oleh karena itu mereka mengingkari kenabian Nabi Musa Alaihissallam dan mu’jizatnya. Ini secara lahiriyah. Namun sesungguhnya di dalam batin, mereka mengakui kebenaran nabi Musa Alaihissallam, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan. [An-Naml/27: 14]

Termasuk yang mengingkari adalah orang-orang ateis di zaman ini, mereka mengatakan, “Tidak ada Tuhan, kehidupan adalah materi”.

Mereka mengatakan hal itu hanyalah secara lahiriyah, karena sesungguhnya hati mereka mengakui keberadaan dan Rubûbiyah Allâh. Bukti hal ini adalah ketika runtuhnya negara Soviet dan negara-negara di Eropa Timur yang mengikuti pemikiran ateisme, mayoritas orang yang menisbatkan diri kepada ateisme secara lahiriyah kembali kepada agama-agama mereka dahulu, seperti Kristen, Yahudi, dan lainnya.

SYIRIK DALAM RUBUBIYAH

Banyak orang yang menyatakan diri Islam namun ia terjerumus dalam syirik Rubûbiyah, seperti orang-orang Shufi dan Rafidhah yang berdoa kepada orang-orang yang telah mati, meminta didatangkan kebaikan atau dihilangkannya kesusahan. Atau meminta sesuatu kepada orang-orang yang masih hidup, namun sesuatu itu hanya mampu dilakukan oleh Allâh semata, seperti meminta kesembuhan, minta hujan, masuk surga, selamat dari neraka, dan lainnya. Semua ini termasuk syirik Rubûbiyah sekaligus syirik Ulûhiyah. Karena mereka tidak meminta kepada makhluk kecuali dengan keyakinan bahwa yang dimintai itu mampu mengabulkannya. Dengan demikian, berarti dia menisbatkan sebagian perbuatan Allâh Azza wa Jalla kepada makhluk-Nya. Ini termasuk syirik Rubûbiyah.[7]

al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamin.

_______
Footnote
[1] Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Tas-hîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 46-50, Penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin dan beberapa rujukan yang lain

[2] Lihat Syarah ath-Thahâwiyah, hlm. 46; al-Wâbilus Shayyib, hlm. 46; Ighâtsatul Lahafân, bab 6, 1/30; Taisîrul ‘Azîzil Hamîd, hlm. 17; Ma’ârijul Qabûl, 1/315; dan al-Qaulus Sadîd, hlm. 19

[3] Lihat Qawâidul Ahkâm, 2/134-135, karya ‘Izz bin Abdis Salam; Madârijus Sâlikin, 1-88; al-Fawâid, hlm. 128; dan Lawâmi’ul Anwâr, 1/353

[4] Lihat Taisîr al-‘Azîzil Hamîd, hlm. 21

[5] Lihat Tafsir Ibnu Abi Hatim; Tafsir Ibnu Katsir; Tafsir Asy-Sayukani; dan Tafsir As-Sa’di

[6] Qur’an surat Al-Furqân/25: 68

[7] Lihat Taisîrul ‘Azîzil Hamîd, hlm. 28; Ma’ârijul Qabûl, 2/401, 475; Syarah ath-Thahâwiyah, hlm. 38; dan Tajrîdut Tauhîd, hlm. 25, 29, 42, 43)

Minggu, 19 Maret 2017

PERINTAH MENYEMPURNAKAN SHAF

PERINTAH MENYEMPURNAKAN SHAF

Fiqih : Shalat

Bismillah...

Shalat merupakan amal shalih terbesar di dalam Islam setelah syahadatain. Shalat juga merupakan pembeda antara orang beriman dengan orang kafir. Oleh karena itu shalat memiliki kedudukan yang sangat agung di dalam agama Islam.  Demikian juga shalat jama’ah di masjid sangat ditekankan untuk dilakukan, bahkan mayoritas Ulama berpendapat bahwa laki-laki dewasa yang tidak ada halangan wajib shalat berjama’ah di masjid.

Tentang keutamaan yang sangat besar bagi yang menjalankan shalat fardhu (wajib) secara berjama’ah di masjid, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ رَجُلٌ خَرَجَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيمَةٍ وَرَجُلٌ رَاحَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُ فَيُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ أَوْ يَرُدَّهُ بِمَا نَالَ مِنْ أَجْرٍ وَغَنِيمَةٍ وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلَامٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

Tiga orang dijamin oleh Allâh Azza wa Jalla:

Seseorang yang keluar berperang fii sabilillah. Dia dijamin oleh Allâh sampai Allâh wafatkan dia, lalu Allâh Azza wa Jallamemasukkannya ke surga, atau Allâh akan memulangkannya dengan meraih pahala dan ghanimah. Seseorang yang berangkat ke masjid, maka dia dijamin oleh Allâh sampai Allâh mewafatkannya, lalu memasukkan ke dalam surga, atau Allâh akan memulangkannya dengan meraih pahala dan ghanimah. Seseorang yang masuk rumahnya dengan mengucapkan salam, maka dia dijamin oleh Allâh. [HR. Abu Dawud, no. 2496; dari Abu Umamah, dishohihkan syaikh Al-Albani]

Dalam menjalanan shalat jama’ah sangat dibutuhkan ilmu untuk mengatur jalannya shalat sehingga menjadi sempurna. Di antara yang penting dalam shalat berjama’ah adalah pengaturan shaf (barisan). Maka, pada edisi ini, kami akan menyampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan mengatur shaf di dalam shalat jama’ah, semoga bermanfaat bagi kita semua.

PERINTAH MELURUSKAN SHAF

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ

Dari Anas bin Malik, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau  bersabda, “Luruskan shaf-shaf  kamu, sesungguhnya meluruskan shaf itu termasuk tegaknya  shalat”. [HR. Al-Bukhâri, no. 723]

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ

Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Luruskan shaf-shaf  kamu, sesungguhnya kelurusan shaf itu termasuk kesempurnaan shalat’” [HR. Muslim, no. 433; Ibnu Mâjah, no. 993 Dishahihkan oleh al-Albâni]

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ اسْتَوُوا اسْتَوُوا اسْتَوُوا فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَاكُمْ مِنْ خَلْفِي كَمَا أَرَاكُمْ مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ

Dari Anas bin Malik, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskan, luruskan, luruskan! Demi (Allâh) Yang jiwaku berada di tanganNya,  sesungguhnya aku melihat kamu dari belakangku sebagamana aku melihatmu dari depanku”.  [HR. An-Nasai, no. 813]

CARA MELURUSKAN SHAF

Menyempurnakan Shaf Pertama, Lalu Belakangnya Dan Seterusnya.

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ السُّوَائِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا قَالَ قُلْنَا وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا قَالَ ((يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ))

Dari Jabir bin Samuroh as-Suwaai, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidakkah kamu berbaris sebagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabbnya?’  Para Sahabat bertanya, “Bagaimana para Malaikat berbaris di hadapan Rabbnya?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka menyempurnakan shaf-shaf yang pertama dan merapatkan shaf”. [HR. Ibnu Mâjah, no. 992; An-Nasai, no. 816. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani rahimahullah]

Meluruskan Shaf

عَنْ النُّعْمَانِ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي الصَّفَّ حَتَّى يَجْعَلَهُ مِثْلَ الرُّمْحِ أَوْ الْقِدْحِ قَالَ فَرَأَى صَدْرَ رَجُلٍ نَاتِئًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوُّوا صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

Dari An-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meluruskan shaf sehingga Beliau menjadikannya seperti tombak atau anak panah (karena sangat lurusnya-pen). Kemudian Beliau melihat dada seorang laki-laki menonjol, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Luruskanlah shaf-shaf kamu atau Allâh benar-benar akan menjadikan hati kamu berselisih”. [HR. Ibnu Mâjah, no. 994; An-Nasai, no. 810. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani rahimahullah]

Merapatkan Shaf Dan Menutup Celah-Celah

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ ((أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي))

Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Iqamat telah dikumandangkan, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kepada kami, kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kamu, dan hendaklah kalian saling merapat, sesungguhnya aku melihat kamu dari balik punggungku”. [HR. Al-Bukhâri, no. 719]

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ((رَاصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيَاطِينَ تَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Dari Anas bahwa Nabi shalAllâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Rapatkanlah shaf-shaf kamu, dekatkanlah antara shaf-shaf, sejajarkanlah leher-leher. Demi (Allâh) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, sesungguhnya aku melihat setan-setan masuk dari sela-sela shaf seolah-olah seekor anak kambing”. [HR. An-Nasâi, no. 815; Abu Dawud, no. 667. Hadits ini dinilai shahih oleh Al-Albani rahimahullah]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِى إِخْوَانِكُمْ ». لَمْ يَقُلْ عِيسَى « بِأَيْدِى إِخْوَانِكُمْ ». « وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ ».. قَالَ أَبُو دَاوُدَ وَمَعْنَى « وَلِينُوا بِأَيْدِى إِخْوَانِكُمْ ». إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِى أَنْ يُلَيِّنَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِى الصَّفِّ.

Dari Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sempurnakan shaf-shaf, sejajarkan bahu-bahu, tutupi celah-celah, dan berlaku lembutlah dengan tangan-tangan saudara-saudara kamu.” Imam Abu Dawud berkata, “‘Isa (nama seorang perawi) tidak mengatakan ‘dengan tangan-tangan saudara-saudara kamu’. “Kamu jangan meninggalkan celah-celah untuk syaitan. Barangsiapa menyambung shaf, Allâh akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutus shaf, Allâh akan memutusnya”.

Abu Dawud berkata, “Lembutlah dengan tangan-tangan saudara-saudara kamu, maksudnya  jika seseorang datang menuju shaf, lalu berusaha memasukinya, maka sepantasnya setiap orang melembutkan kedua bahunya sehingga orang itu bisa masuk ke dalam shaf. [HR. Ahmad, no. 5714; Abu Dawud, no. 666; Al-Baihaqi di dalam Sunan Kubra, no. 5391; Ath-Thabrani dalam Musnad asy-Syâmiyyin. Ini adalah lafazh Abu Dawud. Hadits ini dinilai shahih oleh syaikh Al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth]

Cara Merapatkan Dan Meluruskan Shaf

Ada beberapa hadits yang menjelasakan praktek Sahabat terhadap perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyempurnakan shaf, sehingga hal ini termasuk sunnah taqrîriyah. Yaitu perkataan atau perbuatan para Sahabat yang tidak ditegur oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga hal itu merupakan kebenaran. Di antara hadits tentang cara meluruskan shaf:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ((أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي)) وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Dari Anas bin Malik, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Luruskan shaf-shaf kamu,  sesungguhnya aku melihat kamu dari belakang punggungku!”. Anas bekata, “Setiap orang dari kami biasa menempelkan pundaknya dengan pundak saudaranya, dan menempelkan telapak kakinya dengan telapak kaki saudaranya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 725]

Imam al-Bukhâri rahimahullah memasukkan hadits ini ke dalam bab:

بَاب إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ

‘Menempelkan pundak dengan pundak, dan (menempelkan) telapak kaki dengan telapak kaki di dalam shaf’.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengomentari bab ini dengan menyatakan.

الْمُرَاد بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفّ وَسَدِّ خَلَلِهِ ، وَقَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِسَدِّ خَلَل اَلصَّفّ وَالتَّرْغِيب فِيهِ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ

Yang dimaksudkan dengan hal itu adalah bersungguh-sungguh dalam melurukan shaf dan menutupi celah-celah. Perintah dan anjuran untuk menutupi celah shaf  itu ada dalam banyak hadits”. [Fathul Bâri, 3/77]

Di dalam hadits dijelaskan:

عَنْ أَبِى الْقَاسِمِ الْجَدَلِىِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ فَقَالَ « أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ». ثَلاَثًا « وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ ». قَالَ فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ.

Dari Abul Qâshim al-Jadali, dia berkata, “Aku mendengar an-Nu’man bin Basyir berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kepada jama’ah lalu bersabda, “Luruskan shaf-shaf kamu” tiga kali, “Demi Allâh, kamu benar-benar harus meluruskan shaf kamu atau Allâh akan menjadikan hati kamu berselisih”.Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhu berkata, “Aku lihat laki-laki menempelkan bahunya dengan bahu kawannya, lututnya dengan lutut kawannya, mata kakinya dengan mata kaki kawannya”. [HR. Abu Dawud, no. 662;  Al-Bazzar, no. 3285. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani]

PERHATIAN SAHABAT DALAM MELURUSKAN SHAF

Para Sahabat Nabi Radhiyallahu anhum merupakan generasi terbaik umat ini. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika mereka berusaha mengamalkan tuntunan Nabi ini dengan sebaik-baiknya. Selain riwayat-riwayat di atas yang menunjukkan kesungguhan para Sahabat sebagai makmûm dalam mempraktekkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , juga ada riwayat-riwayat lain yang menunjukkan hal ini. Berikut ini di antaranya:

عَنْ مَالِكِ بْنِ أَبِيْ عَامِرٍ قَالَ : سَمِعْتُ عُثْمَانَ وَهُوَ يَقُوْلُ اِسْتَوُوْا وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ فَإِنَّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ إِقَامَةَ الصَّفِ قَالَ : وَكَانَ لَا يُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيْهِ رِجَالٌ قَدْ وَكَّلَهُمْ بِإِقَامَةِ الصفوف.

Dari Malik bin Abi ‘Aamir, dia berkata, “Aku mendengar ‘Utsman mengatakan, “Luruslah! Sejajarkan bahu-bahu, sesungguhnya meluruskan shaf termasuk kesempurnaan shalat”. Malik bin Abi ‘Aamir berkata, “‘Dahulu, Utsman Radhiyallahu anhu tidak (mulai) bertakbir sampai datang orang-orang yang dia tugaskan untuk meluruskan shaf”. [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 1/387]

Demikian juga sebagian Sahabat mengingkari keadaan jama’ah yang tidak bagus dalam masalah shaf.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَقِيلَ لَهُ مَا أَنْكَرْتَ مِنَّا مُنْذُ يَوْمِ عَهِدْتَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْكَرْتُ شَيْئًا إِلَّا أَنَّكُمْ لَا تُقِيمُونَ الصُّفُوفَ

Dari Anas bin Malik, bahwa dia datang ke kota Madinah, lalu dia ditanya, “Apakah yang anda ingkari dari (perbuatan) kami semenjak hari anda mengenal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”. Dia menjawab, “Aku tidak mengingkari sesuatu, kecuali keadaan kamu yang tidak menegakkan shaf”. [HR. Al-Bukhâri, no. 724]

Inilah beberapa keterangan sekitar mengatur shaf di dalam shalat jama’ah, semoga yang singkat ini bisa menggugah hati kita untuk berusaha melaksanakan sunnah yang sudah banyak ditinggalkan ini.

Al-Hamdulillahi Rabbil ‘alaamiin.

Apa Alasanku Untuk Tidak berayukur?

Bismillaahirrohmaanirrohiim.. وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ   “Dan seg...