Telusuri

Minggu, 30 April 2017

KESENANGAN HATI TERLETAK DALAM SHALAT

KESENANGAN HATI TERLETAK DALAM SHALAT

Dari Anas Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ

Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesenangan hatiku terletak di dalam shalat.

TAKHRIJ HADITS.

Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Ahmad, III/128, 199, 285; An-Nasâ’I, VII/61-62 dan dalam Isyratun Nisâ, no. 1; Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam Ta’zhîm Qadris Shalâh, no. 322, 323; Abu Ya’la dalam Musnad-nya, no. 3482; Al-Hâkim, II/160; Al-Baihaqi, VII/ 78; Dan Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, no. 5199

Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 3124.

SYARAH HADITS.

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ

Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa ada dua perkara yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibuat cinta kepadanya yaitu wanita dan wewangian.

Maksudnya, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan kecintaan kepada wanita (istri) agar bertambah cobaan dan ujian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena wanita adalah fitnah, sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَا تَرَكْتُ بَعْدِيْ فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الِرّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

Tidak ada fitnah yang aku tinggalkan setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita.[1]

Meskipun wanita adalah fitnah, tapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terfitnah dengan banyaknya istri, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan ketaatan-ketaatan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan larangan-larangan-Nya, menunaikan amanah risalah kenabian. Yang demikian bagi Beliau supaya lebih banyak cobaannya dan lebih besar ganjarannya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai banyak istri di antara tujuannya adalah supaya mereka (para istri) menyampaikan kepada ummat Islam apa yang tidak diketahui oleh ummat seperti keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya bersama para istrinya, misalnya terkait mandi junub, haidh, ‘iddah, shalat-shalat sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah, dan lainnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok manusia yang paling baik akhlaknya kepada para istrinya dan kepada keluarganya, agar ummat Islam meneladani akhlak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana Beliau bermu’amalah dengan wanita yang lemah dan berakhlak dengan akhlak yang mulia.

Adapun tentang wewangian, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai karena Malaikat mencintai aroma wewangian dan tidak suka kepada hal-hal yang baunya kurang enak. Oleh karena itu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan bawang merah dan bawah putih ketika seseorang akan berangkat menunaikan shalat di Masjid, karena baunya mengganggu Malaikat dan kaum Muslimin. Wewangian juga menimbulkan kecintaan dan menunjukkan kesempurnaan ciptaan Allâh Azza wa Jalla .

Imam as-Suyuthi rahimahullah berkata, “Sebagian Ulama berkata, ‘Dalam hadits ini ada dua pendapat:

Pertama, diberikan kecintaan kepada wanita, agar bertambah cobaan dan beban Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Meskipun demikian Beliau tidak lalai disebabkan fitnah wanita, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melaksanakan amanah risalah. Maka yang demikian lebih banyak cobaannya dan lebih besar ganjarannya.

Kedua, keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyendiri dan bergaul disaksikan oleh para istrinya, sehingga tuduhan terhadap Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Beliau penyair, orang gila, dan tuduhan-tuduhan lainnya akan hilang.

Adapun pernyataan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalimat “دُنْيَاكُمْ” (dunia kalian) untuk menunjukkan bahwa hati Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tergantung kepada dunia dan tidak mencintai dunia, kecuali sekedar apa-apa yang dapat membantu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk taat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan mengantarkannya ke Surga-Nya.”[2]

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ

Dan dijadikan kesenangan hatiku ada dalam shalat[3]

Qurratul ‘ain (kesenangan hati) yang disebutkan dalam hadits, lebih dari sekedar kecintaan, karena tidak semua hal yang dicintai menjadi kesenangan hati. Tetapi kesenangan hati terwujud pada yang kecintaannya yang paling tinggi, yaitu yang dicintai karena Dzat-Nya, dan yang berhak dicintai seperti itu yaitu Allâh Azza wa Jalla , yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain-Nya. Segala sesuatu selain Allâh Azza wa Jalla dicintai karena mengikuti kecintaan kepada-Nya. Sehingga selain-Nya hanya dicintai karena-Nya dan tidak dicintai bersama-Nya, karena mencintai (selain Allâh) bersama (dengan kecintaan kepada)-Nya adalah syirik dan cinta karena-Nya adalah tauhid.

Orang musyrik menjadikan tandingan-tandingan selain Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka terhadap Allâh Azza wa Jalla , sedangkan orang yang bertauhid hanya cinta kepada siapa saja karena Allâh, membenci siapa saja karena Allâh, melakukan perbuatan yang dilakukan karena Allâh Azza wa Jalla dan meninggalkan hal-hal yang harus ditinggalkan hanya karena Allâh Azza wa Jalla .

Dan poros agama ini terletak pada empat pondasi, yaitu (1) cinta dan (2) benci dan buah dari keduanya adalah (3) melakukan (perbuatan yang harus dilakukan) dan (4) meninggalkan (hal-hal yang harus dijauhi), serta memberikan sesuatu atau tidak memberikan sesuatu. Barangsiapa yang menyempurnakan semua ini karena Allâh, maka imannya telah sempurna imannya. Jika dari hal-hal itu ada yang kurang (keikhlasannya) karena Allâh, maka hal itu akan mengurangi kadar iman hamba tersebut.

Kesimpulannya, qurratu ‘ain seseorang itu lebih tinggi dari sekedar apa yang dia cintai. Dan shalat merupakan qurratul ‘ain (kesenangan hati) di dunia ini bagi orang-orang yang cinta (kepada Allâh), karena di dalamnya dia bermunajat kepada Allâh Azza wa Jalla , yang tidak ada kesenangan, tidak ada ketentraman hati dan tidak ada ketenangan jiwa kecuali hanya kepada-Nya, dengan menikmati dzikir kepada-Nya, merendah dan tunduk kepada-Nya serta dekat dengan-Nya. Terlebih lagi pada keadaan sujud, di mana keadaan tersebut merupakan keadaan terdekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا بِلَالُ ، أَرِحْنَا بِالصَّلَاةِ

Wahai Bilal! Istirahatkanlah kami dengan shalat![4]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa istirahat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terletak dalam shalat, sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa kesenangan hatinya terletak dalam shalat. Maka bandingkanlah dengan orang yang berkata, “Kita shalat kemudian kita istirahat dari shalat.”???!!

Orang yang cinta kepada Allâh, istirahatnya dan kesenangan hatinya terdapat dalam shalat. Adapun orang yang lalai dan berpaling, maka dia tidak merasakan kenikmatan tersebut, bahkan shalat merupakan hal yang besar dan berat baginya. Kalau dia berdiri untuk shalat, seakan-akan ia berdiri di atas bara api sampai dia selesai dari shalat tersebut. Shalat yang paling disukai oleh orang semacam ini adalah shalat yang paling buru-buru dan paling cepat, karena tidak ada kesenangan hatinya dalam shalat dan tidak ada istirahat baginya dalam shalat.

Seorang hamba jika senang terhadap sesuatu dan hatinya serasa istirahat dengannya, maka yang paling berat baginya adalah berpisah dengan hal tersebut. Adapun orang yang dipaksakan, yang hatinya kosong dari Allâh Azza wa Jalla dan hari Akhirat serta terjangkiti penyakit cinta dunia, maka hal yang paling berat baginya adalah shalat, yang paling tidak dia sukai adalah shalat yang lama, padahal dia sedang memiliki waktu luang, sehat dan tidak disibukkan dengan perkara lain.

Yang perlu diketahui adalah bahwa shalat yang bisa menjadi qurratul ‘ain (kesenangan hati) dan istirahatnya hati adalah shalat yang menghadirkan enam hal:

Pertama, Ikhlas

Yaitu yang membawa dan mendorongnya untuk shalat adalah harapannya kepada Allâh, kecintaan kepada-Nya, keinginannya mencari ridha-Nya, mendekat kepada-Nya, mencari cinta-Nya dan karena melaksanakan perintah-Nya. Motivasinya bukan motivasi keduniaan sama sekali, bahkan dia mengerjakan shalat karena menghadap wajah Allâh Yang maha Tinggi, karena cinta kepada-Nya, takut akan adzab-Nya, dan berharap ampunan dan pahala-Nya.

Kedua, Kejujuran dan Ketulusan

Yaitu memusatkan hatinya dalam shalat hanya untuk Allâh, mengerahkan usahanya untuk menghadap kepada Allâh dalam shalatnya, memusatkan hatinya (agar fokus) dalam shalat, dan melaksanakan shalat dengan sebaik-baiknya dan berusaha semaksimal mungkin agar sempurna, secara lahir maupun batin. Karena shalat memiliki dimensi lahir dan batin. Dimensi lahirnya adalah gerakan-gerakan shalat yang terlihat dan perkataan-perkataan yang terdengar, sedangkan batinnya adalah khusyu’, muraqabah (merasa diawasi oleh Allâh), memusatkan hatinya hanya untuk Allâh Azza wa Jalla , menghadap kepada Allâh dengan sepenuh hati, dengan tidak memalingkan hati kepada selain-Nya. Batin ini ibarat ruh shalat, sedangkan gerakan-gerakan shalat ibarat badannya. Jika shalat itu kosong dari ruh, maka shalat tersebut seperti badan yang tidak memiliki ruh. Apakah seorang hamba tidak malu untuk menghadap kepada Rabb-nya dengan mempersembahkan shalat semacam itu! Oleh karena itulah shalat (yang tidak memiliki ruh) itu seperti baju usang yang dilipat, kemudian dipukulkan ke muka pemiliknya, dan shalat itu berkata, “Semoga Allâh Azza wa Jalla menyia-nyiakanmu sebagaimana engkau menyia-nyiakanku!”

Adapun shalat yang sempurna secara lahir dan batinnya, maka dia akan naik dengan mempunyai cahaya dan bukti seperti cahaya matahari, sampai dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla , maka Allâh pun meridhainya dan menerimanya, dan shalat itu berkata, “Semoga Allâh Azza wa Jalla menjagamu sebagaimana engkau telah menjagaku.”

Ketiga, Mutaba’ah (mengikuti) dan Mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Yaitu seorang berusaha keras untuk mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat. Ia shalat sebagaimana Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, berpaling dari hal-hal baru yang dibuat oleh manusia dalam shalat, baik berupa penambahan, pengurangan, dan aturan-aturan yang bukan berasal dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak juga dari Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Tidak juga mengikuti pendapat orang-orang yang selalu memberikan keringanan (dalam shalat) yang hanya mencukupkan diri mereka pada hal-hal yang mereka anggap wajib saja, padahal ada (Ulama) yang menyelisihinya dan mewajibkan apa yang mereka anggap tidak wajib, dan ada hadits-hadits yang shahih dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu akan tetapi mereka tidak menggubris sama sekali dan mereka justru berkata, “Kami taklid kepada madzhab fulan.” Maka alasan ini tidak akan menyelamatkannya di sisi Allâh Azza wa Jalla dan tidak bisa dijadikan sebagai udzur untuk meninggalkan sunnah yang telah dia ketahui, karena Allâh Azza wa Jalla hanya memerintahkan untuk taat kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengikuti Beliau saja, tidak mengikuti selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya dikuti kalau dia memerintahkan dengan apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Semua orang selain Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pendapatnya bisa diambil dan bisa juga ditinggalkan.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah bersumpah dengan diri-Nya yang mulia bahwa kita tidak dikatakan beriman sebelum kita menjadikan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penentu hukum dalam segala hal yang kita perselisihkan, kemudian kita tunduk dan pasrah terhadap hukum (yang datang) dari Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Adapun hukum selain Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketundukan kita terhadap hukum tersebut, maka hal itu tidak akan bermanfaat bagi kita, tidak akan bisa menyelamatkan kita dari adzab Allâh Azza wa Jalla dan Dia tidak akan menerima jawaban kita tatkala kita mendengar seruan-Nya pada hari Kiamat kelak. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ

Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia (Allâh) menyeru mereka, dan berfirman, ‘Apakah jawabanmu terhadap para rasul?’” [Al-Qashash/28:65]

Sungguh, Allâh Subhanahu wa Ta’ala pasti akan menanyakannya kepada kita dan menuntut jawaban dari kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ

Maka pasti akan Kami tanyakan kepada umat yang telah mendapat seruan (dari para rasul) dan Kami akan tanyai (pula) para rasul. [Al-A’râf/7:6]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُوْحِيَ إِلَيَّ أَنَّكُمْ بِيْ تُفْتَنُوْنَ وَعَنِّيْ تُسْأَلُوْنَ

Telah diwahyukan kepadaku bahwa kalian akan mendapatkan fitnah (kubur) dan kalian akan ditanya tentang aku.[5]

Yakni pertanyaan di alam kubur. Barangsiapa yang sampai kepadanya sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian dia tinggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan orang lain, maka dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan mengetahui (kesalahannya tersebut).

Keempat, Ihsan

Yaitu menghadirkan murâqabah (yaitu rasa selalu diawasi oleh Allâh), yaitu dimana seorang hamba beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seolah-olah dia melihat-Nya. Hal ini bisa muncul disebabkan kesempurnaan imannya kepada Allâh, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, sampai seolah-olah dia melihat Allâh di atas langit-Nya sedang istiwâ (bersemayam) di atas ‘Arsy-Nya, berbicara dengan perintah-Nya dan larangan-Nya, mengatur urusan makhluk-Nya, semua perkara turun dari sisi-Nya dan juga naik kepada-Nya, amalan-amalan hamba dan juga ruh-ruh mereka dihadapkan kepada-Nya ketika matinya. Dia menyaksikan semua itu dengan hatinya. Menyaksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya, menyaksikan bahwa Allâh Azza wa Jalla adalah al-Qayyû(Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya), al-Hayy (Maha Hidup), as-Samî (Maha Mendengar), al-Bashîr (Maha Melihat), al-‘Azîz (Maha Perkasa), al-Hakîm (Maha Bijaksana), memerintah dan melarang, mencintai dan membenci, ridha dan murka, berbuat menurut kehendak-Nya, dan menghukumi dengan apa yang diingini-Nya. Allâh Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya, tidak ada amalan hamba yang samar bagi-Nya, tidak juga perkataan dan batin mereka, bahkan Dia mengetahui pandangan mata yang berkhianat (dengan melihat kepada yang haram-pent) dan juga apa yang tersembunyi di dalam dada.

Hadirnya ihsan ini merupakan pokok (inti) bagi seluruh amalan hati, karena akan memunculkan sifat malu, mulia, pengagungan, rasa takut, cinta, tekad untuk bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla , tawakkal (bergantung hanya kepada Allâh-pent), tunduk kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , menghinakan diri di hadapan-Nya, memotong bisikan syaitan dan bisikan hati, serta mengumpulkan hati dan keinginannya hanya kepada Allâh Azza wa Jalla .

Jadi kadar kedekatan seorang hamba kepada Allâh adalah sesuai dengan kadar ihsan yang dimilikinya dan berdasarkan ini pula, nilai shalat manusia berbeda-beda, sampai nilai keutamaan shalat antara dua orang bisa berbeda jauh sejauh langit dan bumi, padahal berdiri, ruku’, dan sujud keduanya sama.

Kelima, Mengingat Karunia Allâh Atasnya.

Yaitu mengakui bahwa semua karunia itu hanya milik Allâh Azza wa Jalla . Dia-lah yang menjadikan seorang hamba bisa berdiri untuk shalat, membuatnya mampu untuk mengerjakannya, dan memberikan taufik kepadanya untuk bisa menegakkan shalat dengan hati dan badannya dalam rangka berkhidmat kepada-Nya. Kalau bukan karena karunia Allâh Azza wa Jalla , maka tidak ada satu pun dari hal-hal tersebut akan terwujud, sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu anhum berkata di hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَاللهِ لَـوْلَا اللهُ مَـا اهْتَـدَيْنَـا            وَلَا تَصَـدَّقْنَـا وَلَا صَلَّيْنَـا

Demi Allâh, kalau bukan karena Allâh, kami tidak akan mendapat petunjuk

Tidak juga kami bisa bersedekah dan tidak juga kami shalat

 Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا ۖ قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ ۖ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ  هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ

Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allâh yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang benar.” [Al-Hujurât/49:17]

Jadi, Allâh lah yang menjadikan seseorang menjadi Muslim dan menjadikan seorang bisa melaksanakan shalat, seperti perkataan al-Khalîl (Nabi Ibrâhîm) Alaihissallam.

رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ

Ya Rabb kami ! Jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu … [Al-Baqarah/2:128]

Dan juga perkataan beliau Alaihissallam.

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Ya Rabbku! Jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap melaksanakan shalat! Wahai Rabb kami! Perkenankanlah doaku.” [Ibrâhîm/14:40]

Karunia hanyalah milik Allâh semata dalam menjadikan seorang hamba melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan ini merupakan nikmat yang paling agung atas seorang hamba.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ

Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allâh, kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah kamu meminta pertolongan.” [An-Nahl/16:53]

Dan Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَلَٰكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ

Tetapi Allâh menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. [Al-Hujurât/49:7]

Ini termasuk kesadaran terbesar dan paling bermanfaat bagi seorang hamba. Semakin besar tauhid seorang hamba, maka semakin sempurna kadar kesadarannya ini.

Di dalamnya terdapat beberapa faedah, di antaranya bisa menghalangi hati dari sifat ujub (bangga diri) dan merasa amalannya (sudah besar-red). Karena jika dia mempersaksikan dan menyadari bahwa Allâh Azza wa Jalla yang memberikan karunia kepadanya, memberinya taufik dan petunjuk, maka kesadarannya ini akan menyibukkan dirinya dari rasa bangga terhadap amalannya dan menilai amalannya besar, serta (mencegahnya) dari perbuatan meremehkan manusia. Sehingga sifat (tercela-red) itu bisa terangkat dari hatinya dan hatinya tidak lagi ujub, dan bisa terangkat dari ucapannya, sehingga dia tidak menyebut-nyebutnya dan tidak menyombongkan diri dengan (amalan)nya. Inilah ciri amalan yang diterima.

Di antara faedahnya adalah seorang hamba menyandarkan pujian kepada Pemiliknya dan Yang berhak mendapatkannya (yaitu Allâh Azza wa Jalla ). Dia tidak merasa dirinya pantas untuk dipuji, bahkan dia meyakini bahwa segala pujian hanya milik Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana dia meyakini bahwa segala nikmat adalah milik Allâh Azza wa Jalla , semua karunia adalah milik-Nya dan segala kebaikan berada di kedua tangan-Nya, dan ini termasuk kesempurnaan tauhid. Pijakannya dalam tauhid tidak akan kokoh kecuali dengan didasari ilmu dan persaksian ini. Jika dia sudah memiliki ilmu tentangnya dan ilmunya kokoh, maka hal itu akan menjadi sebuah kesadaran (masyhad) baginya. Dan apabila di dalam hatinya sudah terdapat kesadaran itu, maka akan membuahkan kecintaan, senang dengan (kedekatan kepada) Allâh, rindu untuk bertemu dengan-Nya, dan merasa nikmat dengan berdzikir (mengingat-Nya) dan taat kepada-Nya, yang (kenikmatan semacam ini) tidak akan tertandingi dengan kenikmatan dunia yang tertinggi sama sekali.

Seseorang tidak memiliki kebaikan sama sekali di dalam hidupnya, jika hatinya terhalang dari hal ini dan jika jalan menuju ke sana terhalangi. Bahkan keadaannya seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:

ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ

Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya). [Al-Hijr/15:3]

Keenam, Senantiasa Merasa Kurang (dalam amalannya)

Seorang hamba walalupun berusaha untuk melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan usaha yang maksimal dan dia mengerahkan segenap usahanya, maka dia tetap dikatakan orang yang kurang. Karena hak Allâh yang harus ditunaikannya lebih besar lagi, serta ketaatan, peribadahan, dan khidmah yang harus dipersembahkan lebih banyak dari itu, sedangkan keagungan dan kemuliaan Allâh Azza wa Jalla menuntut adanya peribadahan yang sesuai.

Jika saja para pelayan dan budak raja-raja (di dunia) melayani mereka dengan penuh pemuliaan, pengagungan, penghormatan, pembesaran, rasa malu, segan, takut dan penuh kejujuran, dimana mereka memfokuskan jiwa dan raga mereka untuk sang raja, maka Rajanya para raja dan Rabb (pemilik) langit dan bumi lebih berhak untuk diperlakukan seperti itu, bahkan berkali lipat dari itu.

Jika seorang hamba meyakini bahwa dirinya tidak mampu memenuhi hak Rabb-nya dalam ibadah kepada-Nya, dan tidak juga mendekati untuk memenuhinya, maka dia akan menyadari kekuranganya, dan tidak ada jalan lain kecuali istighfar (memohon ampun kepada Allâh) dan meminta udzur atas kekurangannya, sikap meremehkannya, dan ketidakmampuannya untuk menunaikan hak Allâh Azza wa Jalla sebagaimana mestinya. Dia menyadari bahwa dirinya lebih butuh terhadap ampunan dan maaf dari Allâh atas ibadahnya (yang kurang) dari pada meminta pahala. Karena jika dia benar-benar memenuhi hak Allâh Azza wa Jalla sebagaimana mestinya, maka hal itu merupakan hal yang sewajarnya sebagai tuntutan dari penghambaan. Sebagaimana budak yang bekerja  dan melayani tuannya, maka memang sewajarnya kalau dia melaksanakan kewajiban tersebut, karena tugas dia sebagai budak. Jika dia meminta upah atas kerja dan pelayanannya, maka orang lain akan menganggapnya sebagai orang bodoh dan pandir, padahal budak itu bukanlah hamba dan milik tuannya secara hakiki, karena pada hakikatnya budak itu (bahkan manusia semuanya-pent) adalah hamba Allâh dan milik-Nya dari segala segi.

Jadi, amalan dan khidmahnya memang sudah menjadi kewajibannya karena kedudukan dia sebagai seorang hamba Allâh, jika Allâh Azza wa Jalla memberikan pahala kepadanya, maka itu adalah murni pemberian, karunia dan kebaikan dari Allâh kepadanya, bukan merupakan hak hamba yang harus Allâh Azza wa Jalla berikan.

Dari sini kita memahami sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا، إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ.

Tidaklah seseorang di antara kalian dimasukkan ke dalam surga karena amalannya.” Mereka para Sahabat bertanya, “Dan tidak juga engkau, wahai Rasûlullâh?” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, tidak juga aku, kecuali Allâh meliputiku dengan karunia serta rahmat-Nya.”[6]

Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu berkata, “Pada hari kiamat akan dikeluarkan tiga catatan kepada seorang hamba:

Catatan berisi kebaikan-kebaikannyaCatatan berisi kejelekan-kejelekannya danCatatan berisi nikmat-nikmat yang Allâh berikan kepadanya.

Lalu Allâh Azza wa Jalla berkata kepada nikmat-nikmat-Nya, ‘Ambillah hakmu dari kebaikan-kebaikan hamba-Ku.’ Maka nikmat yang terkecil mengambil semua kebaikan-kebaikan hamba tersebut, kemudian nikmat itu berkata, ‘Demi Kemuliaan-Mu, aku belum memenuhi hakku.’ Maka jika Allâh ingin merahmati hamba-Nya, Dia berikan nikmat-nikmat-Nya kepada-Nya, Dia ampuni kesalahan-kesalahannya dan Dia melipatgandakan kebaikan-kebaikannya.”[7]

Riwayat ini shahih dari Anas Radhiyallahu anhu, dan ini menunjukkan kesempurnaan ilmu para Sahabat terhadap Rabb mereka dan hak-hak-Nya yang wajib mereka tunaikan. Sebagaimana mereka juga orang yang paling tahu tentang Nabi mereka, tentang sunnah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agama yang Beliau bawa. Maka dalam riwayat ini terdapat ilmu dan pengetahuan yang tidak bisa dicapai kecuali oleh orang-orang yang mempunyai bashîrah (ilmu yakin) dan orang-orang yang mengenal Allâh Azza wa Jalla , nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan mengenal hak-Nya.

Dari sini kita bisa memahami sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dan lainnya:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَوْ عَذَّبَ أَهْلَ سَمَوَاتِهِ، وَأَهْلَ أَرْضِهِ، لَعَذَّبَهُمْ وَهُوَ غَيْرُ ظَالِمٍ لَهُمْ، وَلَوْ رَحِمَهُمْ كَانَتْ رَحْمَتُهُ خَيْرًا لَهُمْ مِنْ أَعْمَالِهِمْ

Sungguh, kalau Allâh mengadzab penduduk langit-Nya dan penduduk bumi-Nya, sunguh Dia akan mengadzab mereka dan Dia tidak menzhalimi mereka sama sekali. Dan kalau Dia merahmati mereka, maka rahmat-Nya lebih baik bagi mereka dibandingkan amal-amal mereka.[8]

FAWA’ID.

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan cobaan dan ujian lebih besar daripada kaum Muslimin.Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan kekuatan cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , sehingga tidak terpengaruh oleh kecintaan Beliau kepada para istri Beliau.Kecintaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para istrinya tidak melalaikan Beliau dari ketataan-ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla , bahkan justru menambah kedekatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allâh Azza wa Jalla .Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibolehkan menikahi lebih dari empat istri agar mereka dapat menjelaskan syari’at Islam yang berkaitan dengan masalah rumah tangga.Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat mengagungkan perintah-perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan larangan-larangan-Nya.Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya dalam bergaul kepada keluarganya, paling baik kepada para istrinya, lembah lembut dan kasih sayang kepada mereka.Kecintaan kepada istri dan menikmati kelezatan dunia itu, bukan hal yang tercela selama tidak melalaikan dari mengingat Allâh dan tidak melalaikan dari ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla .Ummat Islam disunnahkan memakai parfum (wewangian) apabila keluar rumah. Terutama ketika beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla seperti shalat lima waktu dan shalat Jum’at.Kaum wanita dilarang memakai parfum (wewangian) apabila keluar rumah, namun untuk suaminya di rumah, maka dia boleh memakai wewangian untuk menambah kecintaan suaminya. Tentang larangan memakai parfum bagi wanita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّمَـا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ ثُمَّ خَرَجَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوْا رِيْـحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ.

Siapa pun wanita yang memakai wangi-wangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar tercium baunya, maka ia (seperti) wanita pelacur.[9]

Shalat adalah sebaik-baik amalan seorang hamba.Di dalam shalat terkandung kenikmatan dan kesejukan hati yang tidak didapat pada amalan lain.Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kenikmatan dan kesejukan hati di dalam shalat saat munajat kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan berdzikir kepada-Nya.Ketika seorang shalat maka wajib thuma`ninah (tenang) dan tidak terburu-buru.Seorang Muslim harus berusaha untuk khusyu’ dalam shalatnya dan mengikuti contoh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .Shalat wajib dikerjakan untuk mengingat Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku. [Thâhâ/20:14]

Shalat dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, dan mengingat Allâh lebih besar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah Kitab (al-Qur’ân) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan ketahuilah mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Ankabût/29:45]

Apabila seseorang ingin mendapatkan kekhusyu’an, ketentraman, kelezatan, dan kenikmatan dalam shalatnya, maka wajib ia menghadirkan enam hal berikut:IkhlasKejujuran dan keikhlasanMengikuti dan mencontoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamMenghadirkan IhsanMenghadirkan karunia Allâh Azza wa Jalla atasnyaSenantiasa merasa kurang dalam amalannya

MARAAJI.

Kutubus sittah dan kitab-kitab hadits lainnya.Syarah Sunan an-Nasa`i – Dzakiratul ‘Uqba fi Syarhil Mujtaba, Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa al-Etiopi.Risâlatu Ibnil Qayyim ila Ahadi Ikhwânihitahqiq: Abdullah bin Muhammad al-Mudiqar, cet. Daar Alamil Fawa`id.

_______
Footnote
[1]     Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5096 dan Muslim, no. 2740 (97), dari Sahabat Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Muslim.

[2]     Diringkas dengan sedikit tambahan dari Syarah Sunan an-Nasa`i – Dzakiratul ‘Uqba fi Syarhil Mujtaba (28/170-175), Syarah Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam bin Musa al-Etiopi.

[3]     Syarah ini dinukil dari Risâlatu Ibnil Qayyim ila Ahadi Ikhwânihi, hlm. 35-53), tahqiq: Abdullah bin Muhammad al-Mudiqar, cet. Daar Alamil Fawa`id.

[4]     Shahih: HR. Ahmad, V/364 dan Abu Dawud, 4985, 4986. Lihat Shahih al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 7892

[5]     HR. Ahmad (VI/139-140), dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma dalam hadits yang panjang dan marfu’, di dalamnya terdapat:

فَأَمَّا فِتْنَةُ الْقَبْرِ فَبِيْ تُفْتَنُوْنَ وَعَنِّيْ تُسْأَلُوْنَ…

Adapun fitnah kubur, maka kalian akan mendapatkan fitnah dan akan ditanya tentang aku.

Al-Mundziri berkata, “Ahmad meriwayatkannya dengan sanad yang shahih.” (At-Targhîb wat Tarhîb, IV/364-465). Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 1361.

[6]     Shahih: HR. Al-Bukhâri, no. 5673, 6463; Muslim, no. 2816 (75); dan Ahmad, II/264, dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Ahmad dan Muslim.

[7]     Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas z secara marfu’ kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Kasyful Astâr ‘an Zawâ`id al-Bazzâr, karya al-Haitsami, IV/ 160, no. 3444. Al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawâ`id, X/648, “Di dalam sanadnya ada Shalih al-Mari, dia lemah.” Pentahqiq kitab Majma’uz Zawâ`id, X/647 berkata, “Di dalam sanadnya juga ada Dawud bin al-Mihbar, yang dituduh suka memalsukan hadits.”

[8]     Shahih: HR. Abu Dawud, no. 4701; Ahmad, V/182, 185, 189; dan Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra, no. 21396. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr, no. 5244

[9]     Hasan: HR. Ahmad, IV/414, 418; An-Nasâ’i, VIII/153; Abu Dawud, no. 4173; At-Tirmidzi, no. 2786; dan Ibnu Hibban, no. 4407-at-Ta’lîqâtul Hisân dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu .

Sabtu, 15 April 2017

BEBERAPA CONTOH SYARIAT ISAM YANG DITOLAK KARENA DIANGGAP SEBAGAI BUDAYA ARAB

BEBERAPA CONTOH SYARIAT ISAM YANG DITOLAK KARENA DIANGGAP SEBAGAI BUDAYA ARAB

Penolakan terhadap hukum-hukum Islam dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering kita dengar dan ditemukan di tangah-tengah masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam, tentu dengan berbagai macam alasan dan argumentasi cacat yang mereka kemukakan. Misalnya anggapan mereka bahwa hukum Islam tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi manusia di jaman sekarang, atau alasan hukum Islam terlalu kolot dan kaku sehingga tidak bisa fleksibel mengikuti perkembangan kebutuhan manusia di era modern.

Padahal, bukankah Allâh Azza wa Jalla yang menurunkan syariat Islam maha menciptakan segala sesuatu, termasuk menciptakan semua waktu dan tempat, serta maha mengetahui semua kondisi dan perubahan yang terjadi pada mahluk ciptaan-Nya, sehingga semua hukum dalam syariat Islam yang diturunkan-Nya sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap zaman dan tempat?

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Bukankah Allâh yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) Maha Mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [Al-Mulk/67:14]

Dan bukankah Allâh Azza wa Jalla maha sempurna pengetahuan-Nya sehingga tidak ada satupun ke-baikan yang luput dari pengetahuan-Nya dan tidak mungkin ada satu kemuliaanpun yang lupa disyariatkan-Nya dalam agama-Nya? Maha suci Allâh Azza wa Jalla yang berfirman:

لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى

Rabb-ku  tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52]

Dalam ayat lain, Dia Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan Rabb-mu  tidak mungkin lupa [Maryam/19:64]

Di antara alasan penolakan mereka yang populer adalah anggapan bahwa hukum-hukum Islam tersebut identik dengan budaya bangsa ‘Arab, sehingga tidak perlu diikuti oleh selain orang ‘Arab. Ironisnya, anggapan keliru ini tidak hanya dilontarkan oleh orang-orang awam yang bodoh, akan tetapi juga diucapkan oleh beberapa orang yang dipandang sebagai tokoh Islam dan bahkan punya latar belakang pendidikan Islam yang cukup. Mereka tidak sadar atau pura-pura lupa bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk semua manusia dan jin dengan berbagai suku bangsa dan golongan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

Maha Suci Allâh yang telah menurunkan al-Furqân (yaitu al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” [Al-Furqân/25:1]

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah: Hai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua [al-A’râf/7:158]

Para Ulama Ahli tafsir dari kalangan Sahabat Radhiyallahu anhum dan Tabi’in, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan Imam Qatadah al-Bashri menafsirkan ayat di atas bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua golongan manusia dan jin, baik dari kalangan bangsa ‘Arab maupun ‘Ajam (selain bangsa ‘Arab)[1].

Bahkan ini merupakan salah satu keistimewaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada Nabi kita yang mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak kepada Nabi-Nabi lainnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Dulu para Nabi q diutus kepada kaumnya sendiri sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia[2]

Oleh karena itu, hukum asalnya dalam Islam tidak ada keutamaan dan kemuliaan di sisi Allâh Azza wa Jalla pada suku bangsa atau golongan tertentu di atas yang lainnya, kecuali dengan ketakwaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allâh ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [Al-Hujurât/49:13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ عَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang ‘Arab di atas orang ‘Ajam (non ‘Arab), tidak keutamaan bagi orang ajam di atas orang arab, juga bagi yang berkulit merah di atas yang berkulit hitam atau bagi yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan sebab ketakwaan.[3]

Lebih dari itu, syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi semua orang yang menganut agama selain Islam sejak zaman diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat. Oleh karena itu, barangsiapa yang telah sampai kepadanya ajakan untuk mengikuti agama Islam kemudian dia menolaknya, maka dia termasuk penghuni neraka Jahannam pada hari kiamat kelak, na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Allâh yang jiwaku (ada) di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari umat ini mendengarkan (sampai kepadanya) tentang aku (syariat Islam yang aku bawa), baik dia orang yang beragama Yahudi atau Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka (di akhirat nanti).[4]

Jawaban Umum Atas Anggapan Yang Keliru Dan Argumentasi Yang Cacat

Di antara jawaban umum dalam hal ini adalah sebagai berikut:

Hukum asal syariat Islam dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla adalah sebagai teladan kebaikan untuk diikuti oleh orang-orang yang beriman dalam rangka meraih kedudukan mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [Al-Ahzâb/33:21]

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allâh Azza wa Jalla sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .[5]

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [6]

Termasuk dalam hal ini adalah semua perkara yang diperintahkan, dianjurkan atau dijelaskan keutamaannya dalam ayat al-Qur’an atau hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meskipun perkara tersebut asalnya berhubungan dengan urusan dunia, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan hal itu dikhususkan bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Agama Islam asalnya adalah mengikuti (petunjuk) dan meneladani Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan segala sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dan anjurkan kepada kita. Kita meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perbuatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyariatkan bagi kita untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini berbeda dengan perkara-perkara yang hanya dikhususkan bagi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (maka tidak disyariatkan bagi kita untuk mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalm hal ini).”[7]

Sebagai contoh dalam hal ini:

–  Perintah untuk makan dan minum dengan tangan kanan serta larangan melakukannya dengan tangan kiri[8]

– Anjuran untuk memakai pakaian berwarna putih bagi laki-laki[9]

– Anjuran untuk selalu tersenyum di hadapan sesama Muslim[10]

– Tidak menyerupai orang-orang kafir dalam pakaian atau penampilan mereka[11]

– Tidak memakai pakaian yang melewati mata kaki bagi laki-laki[12] dan lain-lain.

Semua ini meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia, akan tetapi karena ada perintah atau anjuran khusus dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih, maka hal-hal tersebut dalam Islam hukumnya menjadi wajib atau minimal keutamaan yang dianjurkan.

Kalaulah kita terima bahwa hal-hal yang mereka sebutkan itu adalah budaya bangsa ‘Arab, maka ini bukanlah alasan untuk menolaknya. Karena di antara kebiasaan dan budaya orang-orang ‘Arab ada yang baik sehingga pantas untuk kita ikuti dan ada yang buruk sehingga tidak pantas untuk diikuti, sebagaimana kebiasan dan budaya bangsa kita?

Agama Islam diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada manusia untuk meluruskan kesalahan dan keburukan yang ada pada diri mereka serta membenarkan dan menyempurnakan sifat-sifat baik yang sudah ada pada diri mereka. Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (sifat-sifat) yang mulia (baik)[13].

Maka ajaran yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin membenarkan dan melestarikan budaya dan kebiasaan buruk bangsa ‘Arab, bahkan budaya buruk mereka sangat ditentang dengan keras oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits yang shahih.

Di antaranya, sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلَا وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ دَمٍ أَضَعُ دَمَ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

Ketahuilah bahwa segala sesuatu (yang buruk) dari (zaman) Jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini[14]. Darah-darah (yang ditumpahkan) pada zaman Jahiliyah dibatalkan (tidak boleh dituntut) dan darah yang pertama kali aku batalkan adalah darah Rabî’ah bin al-Harits[15] (anak paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Dan riba (bunga uang) di zaman Jahiliyah dibatalkan dan riba yang pertama kali aku batalkan adalah riba al-‘Abbâs bin ‘Abdil Muththalib (juga anak paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sungguh semuanya dibatalkan (dalam Islam). [16]

Juga dalam riwayat yang shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang empat macam bentuk pernikahan di zaman jahiliyah, yang pertama pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini (pernikahan yang dibenarkan dalam Islam, yaitu) seorang laki-laki yang datang melamar seorang perempuan kepada walinya, lalu dia memberikan mahar kepada perempuan tersebut dan menikahinya… Kemudian ‘Aisyah Radhiyalhu anhum menyebutkan tiga macam bentuk pernikahan jahiliyah lainnya yang bertentangan dengan syariat Islam, lalu beliau Radhiyalahu  berkata: “…Kemudian ketika Allâh mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan (membawa) kebenaran, maka Nabi n memusnahkan semua (bentuk) pernikahan Jahiliyah, kecuali pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini.”[17]

Beberapa Contoh Syariat Islam Yang Ditolak Beserta Jawabannya

Mempelajari bahasa Arab untuk memahami petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Petunjuk Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diturunkan-Nya dengan bahasa yang bisa dipahami manusia, untuk memudahkan mereka memahami dan merenungkan petunjuk-Nya dan agar tidak ada alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran ketika telah sampai dan jelas baginya petunjuk Allâh Azza wa Jalla . Bahasa yang dipilih oleh Allâh Azza wa Jalla untuk menjadi bahasa wahyu-Nya adalah bahasa Arab yang fasih, karena Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya yang terakhir dari kalangan bangsa Arab. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian (bisa) memahaminya [Yûsuf/12:2].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴿١٩٢﴾نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ﴿١٩٣﴾عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ﴿١٩٤﴾بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dengan dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (malaikat Jibril Alaihissallam ), ke dalam hatimu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) agar kamu menjadi salah seorang di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” [Asy-Syu’arâ’/26:192-195]

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allâh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana [Ibrâhîm/14:4]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat kedua di atas, beliau berkata, “Artinya: al-Qur’an yang kami turunkan kepadamu (wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, kami turunkan dengan bahasamu (yaitu) bahasa Arab yang fasih, lengkap dan sempurna, supaya (kandungan maknanya) jelas dan gamblang, serta memutus ‘udzur (alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran) dan menegakkan hujjah (argumentasi kebenaran petunjuk-Nya) sekaligus sebagai dalil untuk menjelaskan kebenaran”[18].

Maka berdasarkan ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang semakna, dapat disimpulkan bahwa mempelajari bahasa Arab dalam Islam bukanlah identik dengan budaya bangsa Arab atau sekedar senang dengan bahasa mereka, tapi ini berhubungan erat dengan bahasa al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan sarana untuk memahami dan merenungkan dengan benar petunjuk keduanya. Tentu saja semua ini merupakan kewajiban utama setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]

Berdasarkan inilah, para ulama Ahlus sunnah menegaskan bahwa mempelajari bahasa Arab itu wajib bagi kaum Muslimin. Karena dengan itulah, mereka bisa memahami dengan benar petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesunguhnya bahasa Arab itu sendiri termasuk (bagian dari) agama Islam dan memahaminya adalah kewajiban yang harus dilakukan, karena sesungguhnya memahami al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib (hukumnya), sementara keduanya tidak akan dipahami (dengan benar) kecuali dengan memahami bahasa Arab. Suatu perkara yang menyebabkan (penunaian) kewajiban tidak bisa sempurna tanpanya, maka hukum perkara tersebut wajib.”[19]

Memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutup seluruh aurat perempuan ketika keluar rumah

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu disakiti. Dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Al-Ahzâb:33/59].

Dalam ayat ini terdapat perintah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada semua wanita yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir untuk memakai pakaian dan jilbab yang menutupi aurat mereka. Perintah ini menunjukkan hal tersebut hukumnya wajib dalam Islam, sehingga bisa dipastikan bahwa perintah memakai jilbab syar’i ini bukanlah karena kaitannya dengan budaya atau kebiasaan wanita-wanita Arab, tapi ini adalah perintah Allâh Azza wa Jalla yang seharusnya menjadi kebiasaan baik bagi wanita-wanita yang beriman.

Terlebih lagi, dalam ayat di atas, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hikmah agung dan kebaikan besar yang akan mereka dapatkan dengan melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla ini, yaitu penjagaan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita sehingga mereka tidak diganggu dan disakiti ketika keluar rumah.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Karena, jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi ada orang yang menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afîfah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan atau melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”[20].

Oleh karena itu, dalam beberapa hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ancaman yang sangat keras bagi wanita-wanita yang melanggar perintah Allâh Azza wa Jalla ini, yaitu dengan keluar rumah tanpa menutup aurat, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggelari mereka dengan sebutan ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’.

Dari Abu Hurairah urairah zzz bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ  لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا،  وَإِنَّ رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ كَذَا وَكَذَا

 Ada dua golongan termasuk penghuni neraka yang aku belum melihat mereka: (pertama) orang-orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi, (digunakan) untuk memukul atau menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang… Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium wanginya, padahal wanginya bisa tercium dari jarak segini dan segini (jarak yang sangat jauh)[21]

Dan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat”[22]

Maksud dari ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’ adalah wanita-wanita yang memperlihatkan auratnya ketika keluar rumah dengan memakai pakaian yang menutupi sebagian tubuhnya dan menampakkan sebagian yang lain. Ada juga yang mengartikannya dengan wanita-wanita yang memakai busana yang tipis atau ketat sehingga memperlihatkan warna kulitnya atau bentuk tubuhnya.[23]

Membiarkankan Jenggot Tumbuh dan Mencukur Kumis Bagi Laki-Laki

Perkara ini juga diperintahkan secara khusus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits shahih.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh[24]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh, selisihilah orang-orang Majusi[25].

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa membiarkankan jenggot tumbuh dan mencukur kumis bagi laki-laki, meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia dan mungkin identik dengan kebiasaan orang-orang Arab yang memang rata-rata punya jenggot panjang, akan tetapi karena ada perintah khusus dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, maka jadilah hukumnya dalam Islam disyariatkan bahkan diwajibkan. Karena hukum asal dari sebuah perintah itu menunjukkan hukum wajib. Apalagi perintah ini juga digandengkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangan menyerupai orang-orang kafir, sebagaimana dalam hadits kedua[26].

Perempuan Menetap di Rumah dan Tidak Sering Keluar Rumah, Kecuali Jika Ada Kepentingan Yang Dibenarkan Dalam Syariat Islam

Ini juga diperintahkan dalam al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Jadi ini jelas merupakan perintah yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan bagi kaum Muslimah yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ini budaya Arab yang hanya berlaku bagi para wanita Arab dan tidak berlaku bagi selain mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ 

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita jahiliyah yang dahulu” [Al-Ahzâb/33:33]

Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetap di rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada para istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)”[27].

Maka menetapnya seorang perempuan di rumah merupakan ‘azîmatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat Islam) dan kebolehan mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan) yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan. Itupun dengan syarat memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutupi semua auratnya[28].

Karena seringnya wanita keluar rumah merupakan sebab munculnya fitnah dan kerusakan, dan ini tentu dilarang keras dalam Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allâh Azza wa Jalla ) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[29].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka dari rumah sering menjadi sebab fitnah. Dan sungguh dalil-dalil syariat menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai syariat), dengan memakai hijab (yang benar) dan menghindari memakai perhiasan, akan tetapi menetapnya mereka di rumah adalah (hukum) asal dan itu lebih baik bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah”[30].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “(Hukum) asalnya adalah seorang wanita tidak boleh keluar rumahnya kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih (riwayat) imam al-Bukhâri (no. 4517) ketika turun firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu [Al-Ahzâb/33:33]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sungguh Allâh telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada) keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat)”[31].

Tidak Berjabat Tangan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Yang Bukan Mahram

Yang satu ini barangkali tidak identik dengan budaya dan kebiasaan orang-orang Arab, tapi mungkin lebih dekat dengan kebiasaan sebagian masyarakat di negeri kita, yaitu bersalam-salaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, di setiap acara, pertemuan dan perayaan hari-hari tertentu.

Meskipun mungkin asalnya bisa dikatakan sebagai budaya dan kebiasaan sebagian masyarakat, akan tetapi dalam Islam sangat dilarang dengan keras karena kerusakan dan fitnah besar yang timbul sebagai akibatnya.

Cukuplah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini yang mengingatkan tentang besarnya kerusakan dan fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan”[32].

Banyak hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan larangan dan keharaman hal ini, di antaranya:

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma (istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) :

Aisyah Radhiyallahu anhuma menceritakan tentang baiat kaum wanita (Mukminah) kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah menyentuh seorang wanitapun dengan tangan Beliau, tapi Beliau mengambil baiat wanita (dengan ucapan saja dan tanpa berjabat tangan), setelah membaiat wanita, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Pergilah, sungguh aku telah membaiatmu”[33]. Imam abu Zakaria an-Nawawi (Imam besar dari  madzhab asy-Syafi’i) menyebutkan beberapa faidah dari hadits ini, di antaranya:

Membaiat wanita (hanya) dengan ucapan tanpa berjabat tangan, adapun laki-laki maka dengan berjabat tangan dan ucapan.Tidak boleh menyentuh kulit wanita yang bukan mahram tanpa (ada alasan) darurat, seperti berobat dan lain-lain.[34]Dari Umaimah bintu Ruqaiqah Radhiyallahu anhuma dia berkata:

Aku pernah mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para wanita (Muslimah) untuk membaiat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam Sunan Ibnu Mâjah [35].

Hadits ini menguatkan penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu anhu :

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya)”[36].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang sangat keras bagi seorang (laki-laki) yang menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. Ini (juga) menunjukkan haramnya berjabat tengan dengan perempuan (selain istri atau mahram), karena ini termasuk menyentuh, tanpa diragukan lagi. Sungguh keburukan ini di zaman sekarang telah menimpa banyak kaum Muslimin, yang di antara mereka ada orang-orang yang berilmu (paham agama Islam). Seandainya mereka mengingkari keburukan ini (meskipun) dalam hati mereka, maka paling tidak keburukan ini akan sedikit berkurang. Akan tetapi (parahnya) mereka (justru) menganggap keburukan tersebut halal, dengan berbagai macam cara dan pentakwilan. Sungguh telah sampai kepadaku (berita) bahwa seorang tokoh yang sangat diagungkan di (Universitas) al-Azhar (di Mesir) pernah disaksikan beberapa orang sedang berjabat tangan dengan beberapa orang perempuan (yang bukan mahramnya). Kita mengadukan kepada Allâh Azza wa Jalla tentang asingnya ajaran Islam”[37].

Kesimpulannya, agama Islam melarang keras dan mengharamkan bagi laki-laki untuk menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, termasuk berjabat tangan untuk berkenalan, bermaaf-maafan, berterima kasih atau alasan-alasan lainnya, karena ini akan mengantarkan kepada dampak negatif dan keburukan besar.

Penutup

Demikianlah dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk memotivasi mereka agar menjauhi hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, guna menjamin keselamatan dan kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat kelak.

_______

Footnote:

[1] Lihat kitab Tafsir Ibni Katsîr (3/711)

[2] HR. Al-Bukhâri (1/128) dan Muslim (no. 521).

[3] HR. Ahmad (5/411) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah (no. 2700).

[4] HR. Muslim (no. 153)

[5] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau, hlm. 481

[6] Tafsir Ibnu Katsir, 3/626

[7] Kitab Majmû’ul Fatâwa, 27/504

[8] Sebagaimana dalam HR. Muslim, no. 2020

[9] Sebagaimana dalam HR. Abu Dawud, no. 3878 dan at-Tirmidzi, 3/319), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.

[10] Sebagaimana at-Tirmidzi, 4/339 dan Ibnu Hibban, no. 474, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.

[11] Sebagaimana dalam HR. Abu Dawud, no. 4031 dan Ahmad, 2/50. Hadits ini dinyatakan shahih Syaikh al-Albani.

[12] Sebagaimana dalam HR. Al-Bukhâri, 5/2182

[13] HR. Ahmad, 2/381 dan al-Hakim (2/670), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[14] dibatalkan atau ditiadakan dalam Islam

[15] Disusui di kabilah  Bani Sa’ad kemudian dia dibunuh oleh Hudzail

[16] HR. Ibnu Majah, no. 3074 dan Ibnu Khuzaimah, 4/251, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Syaikh al-Albani.

[17] HR. Al-Bukhari, 5/2182

[18] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 3/462

[19] Kitab Iqtidhâ ash Shirâthil Mustaqîm, hlm. 207

[20] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 489

[21] HR. Muslim, no. 2128

[22] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, 9/131 dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab  Jilbâbul Mar’atil muslimah, hlm. 125

[23] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam Syarhu shahih Muslim, 14/110

[24] HR. Al-Bukhâri, 5/2209 dan Muslim, no. 259

[25] HR. Muslim, no. 260

[26] Lihat penjelasan Syaikh al-Albani dalam kitab Âdâbuz zifâf , hlm. 137.

[27] Kitab al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 14/174

[28] Lihat penjelasan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirâsatul Fadhîlah, hlm. 87

[29] HR Ibnu Khuzaimah, no. 1685; Ibnu Hibbân, no. 5599 dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul  Ausath, no. 2890, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâditsish Shahîhah, no. 2688

[30] Kitab Majmû’al fatâwa syaikh Bin Bâz, 4/308

[31] Al-Fatâwâ al-Imârâtiyyah

[32] HR. Al-Bukhâri, no. 4808 dan Muslim, no. 2740

[33] HR. Muslim, 3/1489, no. 1866), Bab: Bagaimana (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) Membaiat Wanita.

[34] Lihat Syarah shahih Muslim, 13/10

[35] HR. an-Nasa’i, 7/149, no. 4181; At-Tirmidzi, 4/151, no. 1597 dan Ibnu Mâjah, 2/ 959, no. 2874. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Hajar, Fathul Bari 13/204

[36] HR ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr, no. 486 dan 487 dan ar-Ruyani dalam al-Musnad, 2/227; dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawâ-id 4/598), al-Mundziri dan al-Munawi (lihat kitab Faidhul Qadîr 5/258, dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, no. 226

[37] Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/225, no. 226

BEBERAPA CONTOH SYARIAT ISAM YANG DITOLAK KARENA DIANGGAP SEBAGAI BUDAYA ARAB

BEBERAPA CONTOH SYARIAT ISAM YANG DITOLAK KARENA DIANGGAP SEBAGAI BUDAYA ARAB

Penolakan terhadap hukum-hukum Islam dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering kita dengar dan ditemukan di tangah-tengah masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam, tentu dengan berbagai macam alasan dan argumentasi cacat yang mereka kemukakan. Misalnya anggapan mereka bahwa hukum Islam tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi manusia di jaman sekarang, atau alasan hukum Islam terlalu kolot dan kaku sehingga tidak bisa fleksibel mengikuti perkembangan kebutuhan manusia di era modern.

Padahal, bukankah Allâh Azza wa Jalla yang menurunkan syariat Islam maha menciptakan segala sesuatu, termasuk menciptakan semua waktu dan tempat, serta maha mengetahui semua kondisi dan perubahan yang terjadi pada mahluk ciptaan-Nya, sehingga semua hukum dalam syariat Islam yang diturunkan-Nya sangat sesuai dengan kondisi mereka di setiap zaman dan tempat?

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Bukankah Allâh yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) Maha Mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [Al-Mulk/67:14]

Dan bukankah Allâh Azza wa Jalla maha sempurna pengetahuan-Nya sehingga tidak ada satupun ke-baikan yang luput dari pengetahuan-Nya dan tidak mungkin ada satu kemuliaanpun yang lupa disyariatkan-Nya dalam agama-Nya? Maha suci Allâh Azza wa Jalla yang berfirman:

لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى

Rabb-ku  tidak akan salah dan tidak (pula) lupa” [Thâhâ/20:52]

Dalam ayat lain, Dia Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Dan Rabb-mu  tidak mungkin lupa [Maryam/19:64]

Di antara alasan penolakan mereka yang populer adalah anggapan bahwa hukum-hukum Islam tersebut identik dengan budaya bangsa ‘Arab, sehingga tidak perlu diikuti oleh selain orang ‘Arab. Ironisnya, anggapan keliru ini tidak hanya dilontarkan oleh orang-orang awam yang bodoh, akan tetapi juga diucapkan oleh beberapa orang yang dipandang sebagai tokoh Islam dan bahkan punya latar belakang pendidikan Islam yang cukup. Mereka tidak sadar atau pura-pura lupa bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk semua manusia dan jin dengan berbagai suku bangsa dan golongan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَىٰ عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

Maha Suci Allâh yang telah menurunkan al-Furqân (yaitu al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” [Al-Furqân/25:1]

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

Katakanlah: Hai manusia! Sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua [al-A’râf/7:158]

Para Ulama Ahli tafsir dari kalangan Sahabat Radhiyallahu anhum dan Tabi’in, seperti ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu dan Imam Qatadah al-Bashri menafsirkan ayat di atas bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada semua golongan manusia dan jin, baik dari kalangan bangsa ‘Arab maupun ‘Ajam (selain bangsa ‘Arab)[1].

Bahkan ini merupakan salah satu keistimewaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada Nabi kita yang mulia, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak kepada Nabi-Nabi lainnya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Dulu para Nabi q diutus kepada kaumnya sendiri sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia[2]

Oleh karena itu, hukum asalnya dalam Islam tidak ada keutamaan dan kemuliaan di sisi Allâh Azza wa Jalla pada suku bangsa atau golongan tertentu di atas yang lainnya, kecuali dengan ketakwaan dan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allâh ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [Al-Hujurât/49:13]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ وَلاَ عَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلاَ أَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلاَ أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى

Ketahuilah bahwa tidak ada keutamaan bagi orang ‘Arab di atas orang ‘Ajam (non ‘Arab), tidak keutamaan bagi orang ajam di atas orang arab, juga bagi yang berkulit merah di atas yang berkulit hitam atau bagi yang berkulit hitam di atas yang berkulit merah kecuali dengan sebab ketakwaan.[3]

Lebih dari itu, syari’at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berlaku bagi semua orang yang menganut agama selain Islam sejak zaman diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari kiamat. Oleh karena itu, barangsiapa yang telah sampai kepadanya ajakan untuk mengikuti agama Islam kemudian dia menolaknya, maka dia termasuk penghuni neraka Jahannam pada hari kiamat kelak, na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

Demi Allâh yang jiwaku (ada) di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari umat ini mendengarkan (sampai kepadanya) tentang aku (syariat Islam yang aku bawa), baik dia orang yang beragama Yahudi atau Nashrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan agama yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka (di akhirat nanti).[4]

Jawaban Umum Atas Anggapan Yang Keliru Dan Argumentasi Yang Cacat

Di antara jawaban umum dalam hal ini adalah sebagai berikut:

Hukum asal syariat Islam dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla adalah sebagai teladan kebaikan untuk diikuti oleh orang-orang yang beriman dalam rangka meraih kedudukan mulia di sisi Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (balasan kebaikan pada) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allâh [Al-Ahzâb/33:21]

Ayat yang mulia ini menunjukkan kemuliaan dan keutamaan besar mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allâh Azza wa Jalla sendiri yang menamakan semua perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “teladan yang baik”, yang ini menunjukkan bahwa orang yang meneladani sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti dia telah menempuh ash-shirathal mustaqim (jalan yang lurus) yang akan membawanya mendapatkan kemuliaan dan rahmat Allâh Azza wa Jalla .[5]

Ketika menafsirkan ayat ini, imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini merupakan landasan yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua ucapan, perbuatan dan keadaan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . [6]

Termasuk dalam hal ini adalah semua perkara yang diperintahkan, dianjurkan atau dijelaskan keutamaannya dalam ayat al-Qur’an atau hadits yang shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meskipun perkara tersebut asalnya berhubungan dengan urusan dunia, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan hal itu dikhususkan bagi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Agama Islam asalnya adalah mengikuti (petunjuk) dan meneladani Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan melakukan segala sesuatu yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan dan anjurkan kepada kita. Kita meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam semua perbuatan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disyariatkan bagi kita untuk mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini berbeda dengan perkara-perkara yang hanya dikhususkan bagi Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (maka tidak disyariatkan bagi kita untuk mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalm hal ini).”[7]

Sebagai contoh dalam hal ini:

–  Perintah untuk makan dan minum dengan tangan kanan serta larangan melakukannya dengan tangan kiri[8]

– Anjuran untuk memakai pakaian berwarna putih bagi laki-laki[9]

– Anjuran untuk selalu tersenyum di hadapan sesama Muslim[10]

– Tidak menyerupai orang-orang kafir dalam pakaian atau penampilan mereka[11]

– Tidak memakai pakaian yang melewati mata kaki bagi laki-laki[12] dan lain-lain.

Semua ini meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia, akan tetapi karena ada perintah atau anjuran khusus dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih, maka hal-hal tersebut dalam Islam hukumnya menjadi wajib atau minimal keutamaan yang dianjurkan.

Kalaulah kita terima bahwa hal-hal yang mereka sebutkan itu adalah budaya bangsa ‘Arab, maka ini bukanlah alasan untuk menolaknya. Karena di antara kebiasaan dan budaya orang-orang ‘Arab ada yang baik sehingga pantas untuk kita ikuti dan ada yang buruk sehingga tidak pantas untuk diikuti, sebagaimana kebiasan dan budaya bangsa kita?

Agama Islam diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla kepada manusia untuk meluruskan kesalahan dan keburukan yang ada pada diri mereka serta membenarkan dan menyempurnakan sifat-sifat baik yang sudah ada pada diri mereka. Inilah makna sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ

Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak (sifat-sifat) yang mulia (baik)[13].

Maka ajaran yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mungkin membenarkan dan melestarikan budaya dan kebiasaan buruk bangsa ‘Arab, bahkan budaya buruk mereka sangat ditentang dengan keras oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak hadits yang shahih.

Di antaranya, sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

أَلَا وَإِنَّ كُلَّ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، وَدِمَاءُ الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ دَمٍ أَضَعُ دَمَ ابْنِ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ ، وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

Ketahuilah bahwa segala sesuatu (yang buruk) dari (zaman) Jahiliyah diletakkan di bawah kedua kakiku ini[14]. Darah-darah (yang ditumpahkan) pada zaman Jahiliyah dibatalkan (tidak boleh dituntut) dan darah yang pertama kali aku batalkan adalah darah Rabî’ah bin al-Harits[15] (anak paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Dan riba (bunga uang) di zaman Jahiliyah dibatalkan dan riba yang pertama kali aku batalkan adalah riba al-‘Abbâs bin ‘Abdil Muththalib (juga anak paman Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), sungguh semuanya dibatalkan (dalam Islam). [16]

Juga dalam riwayat yang shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma tentang empat macam bentuk pernikahan di zaman jahiliyah, yang pertama pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini (pernikahan yang dibenarkan dalam Islam, yaitu) seorang laki-laki yang datang melamar seorang perempuan kepada walinya, lalu dia memberikan mahar kepada perempuan tersebut dan menikahinya… Kemudian ‘Aisyah Radhiyalhu anhum menyebutkan tiga macam bentuk pernikahan jahiliyah lainnya yang bertentangan dengan syariat Islam, lalu beliau Radhiyalahu  berkata: “…Kemudian ketika Allâh mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan (membawa) kebenaran, maka Nabi n memusnahkan semua (bentuk) pernikahan Jahiliyah, kecuali pernikahan yang biasa dilakukan manusia saat ini.”[17]

Beberapa Contoh Syariat Islam Yang Ditolak Beserta Jawabannya

Mempelajari bahasa Arab untuk memahami petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Petunjuk Allâh Azza wa Jalla dalam al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam diturunkan-Nya dengan bahasa yang bisa dipahami manusia, untuk memudahkan mereka memahami dan merenungkan petunjuk-Nya dan agar tidak ada alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran ketika telah sampai dan jelas baginya petunjuk Allâh Azza wa Jalla . Bahasa yang dipilih oleh Allâh Azza wa Jalla untuk menjadi bahasa wahyu-Nya adalah bahasa Arab yang fasih, karena Allâh Azza wa Jalla mengutus Rasul-Nya yang terakhir dari kalangan bangsa Arab. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kalian (bisa) memahaminya [Yûsuf/12:2].

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴿١٩٢﴾نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ﴿١٩٣﴾عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ﴿١٩٤﴾بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ

Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dengan dibawa turun oleh ar-Ruh al-Amin (malaikat Jibril Alaihissallam ), ke dalam hatimu (wahai Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) agar kamu menjadi salah seorang di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” [Asy-Syu’arâ’/26:192-195]

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allâh menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petinjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana [Ibrâhîm/14:4]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat kedua di atas, beliau berkata, “Artinya: al-Qur’an yang kami turunkan kepadamu (wahai Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini, kami turunkan dengan bahasamu (yaitu) bahasa Arab yang fasih, lengkap dan sempurna, supaya (kandungan maknanya) jelas dan gamblang, serta memutus ‘udzur (alasan bagi orang-orang yang menolak kebenaran) dan menegakkan hujjah (argumentasi kebenaran petunjuk-Nya) sekaligus sebagai dalil untuk menjelaskan kebenaran”[18].

Maka berdasarkan ayat-ayat di atas dan ayat-ayat lain yang semakna, dapat disimpulkan bahwa mempelajari bahasa Arab dalam Islam bukanlah identik dengan budaya bangsa Arab atau sekedar senang dengan bahasa mereka, tapi ini berhubungan erat dengan bahasa al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan sarana untuk memahami dan merenungkan dengan benar petunjuk keduanya. Tentu saja semua ini merupakan kewajiban utama setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]

Berdasarkan inilah, para ulama Ahlus sunnah menegaskan bahwa mempelajari bahasa Arab itu wajib bagi kaum Muslimin. Karena dengan itulah, mereka bisa memahami dengan benar petunjuk al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesunguhnya bahasa Arab itu sendiri termasuk (bagian dari) agama Islam dan memahaminya adalah kewajiban yang harus dilakukan, karena sesungguhnya memahami al-Qur’an dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib (hukumnya), sementara keduanya tidak akan dipahami (dengan benar) kecuali dengan memahami bahasa Arab. Suatu perkara yang menyebabkan (penunaian) kewajiban tidak bisa sempurna tanpanya, maka hukum perkara tersebut wajib.”[19]

Memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutup seluruh aurat perempuan ketika keluar rumah

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu disakiti. Dan Allâh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Al-Ahzâb:33/59].

Dalam ayat ini terdapat perintah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada semua wanita yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir untuk memakai pakaian dan jilbab yang menutupi aurat mereka. Perintah ini menunjukkan hal tersebut hukumnya wajib dalam Islam, sehingga bisa dipastikan bahwa perintah memakai jilbab syar’i ini bukanlah karena kaitannya dengan budaya atau kebiasaan wanita-wanita Arab, tapi ini adalah perintah Allâh Azza wa Jalla yang seharusnya menjadi kebiasaan baik bagi wanita-wanita yang beriman.

Terlebih lagi, dalam ayat di atas, Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan hikmah agung dan kebaikan besar yang akan mereka dapatkan dengan melaksanakan perintah Allâh Azza wa Jalla ini, yaitu penjagaan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala bagi kaum wanita sehingga mereka tidak diganggu dan disakiti ketika keluar rumah.

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Karena, jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi ada orang yang menyangka bahwa dia bukan wanita yang ‘afîfah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan atau melecehkannya… Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”[20].

Oleh karena itu, dalam beberapa hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ancaman yang sangat keras bagi wanita-wanita yang melanggar perintah Allâh Azza wa Jalla ini, yaitu dengan keluar rumah tanpa menutup aurat, bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggelari mereka dengan sebutan ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’.

Dari Abu Hurairah urairah zzz bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ  لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا،  وَإِنَّ رِيحَهَا لَتُوجَدُ مِنْ كَذَا وَكَذَا

 Ada dua golongan termasuk penghuni neraka yang aku belum melihat mereka: (pertama) orang-orang yang memegang cambuk seperti ekor sapi, (digunakan) untuk memukul atau menyiksa manusia, (kedua) Wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang… Mereka tidak masuk surga dan tidak mencium wanginya, padahal wanginya bisa tercium dari jarak segini dan segini (jarak yang sangat jauh)[21]

Dan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat”[22]

Maksud dari ‘wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang’ adalah wanita-wanita yang memperlihatkan auratnya ketika keluar rumah dengan memakai pakaian yang menutupi sebagian tubuhnya dan menampakkan sebagian yang lain. Ada juga yang mengartikannya dengan wanita-wanita yang memakai busana yang tipis atau ketat sehingga memperlihatkan warna kulitnya atau bentuk tubuhnya.[23]

Membiarkankan Jenggot Tumbuh dan Mencukur Kumis Bagi Laki-Laki

Perkara ini juga diperintahkan secara khusus oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits shahih.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

انْهَكُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

Pendekkanlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh[24]

Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

جُزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ

Cukurlah kumis dan biarkanlah jenggot tumbuh, selisihilah orang-orang Majusi[25].

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa membiarkankan jenggot tumbuh dan mencukur kumis bagi laki-laki, meskipun asalnya berhubungan dengan urusan dunia dan mungkin identik dengan kebiasaan orang-orang Arab yang memang rata-rata punya jenggot panjang, akan tetapi karena ada perintah khusus dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal ini, maka jadilah hukumnya dalam Islam disyariatkan bahkan diwajibkan. Karena hukum asal dari sebuah perintah itu menunjukkan hukum wajib. Apalagi perintah ini juga digandengkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan larangan menyerupai orang-orang kafir, sebagaimana dalam hadits kedua[26].

Perempuan Menetap di Rumah dan Tidak Sering Keluar Rumah, Kecuali Jika Ada Kepentingan Yang Dibenarkan Dalam Syariat Islam

Ini juga diperintahkan dalam al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Jadi ini jelas merupakan perintah yang Allâh Azza wa Jalla wajibkan bagi kaum Muslimah yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ini budaya Arab yang hanya berlaku bagi para wanita Arab dan tidak berlaku bagi selain mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ 

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita jahiliyah yang dahulu” [Al-Ahzâb/33:33]

Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetap di rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada para istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)”[27].

Maka menetapnya seorang perempuan di rumah merupakan ‘azîmatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat Islam) dan kebolehan mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan) yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan. Itupun dengan syarat memakai pakaian dan jilbab syar’i yang menutupi semua auratnya[28].

Karena seringnya wanita keluar rumah merupakan sebab munculnya fitnah dan kerusakan, dan ini tentu dilarang keras dalam Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) syaithan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allâh Azza wa Jalla ) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[29].

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata, “Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para wanita untuk menetapi rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka dari rumah sering menjadi sebab fitnah. Dan sungguh dalil-dalil syariat menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai syariat), dengan memakai hijab (yang benar) dan menghindari memakai perhiasan, akan tetapi menetapnya mereka di rumah adalah (hukum) asal dan itu lebih baik bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah”[30].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “(Hukum) asalnya adalah seorang wanita tidak boleh keluar rumahnya kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih (riwayat) imam al-Bukhâri (no. 4517) ketika turun firman Allâh Azza wa Jalla :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ

Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu [Al-Ahzâb/33:33]

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sungguh Allâh telah mengizinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada) keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat)”[31].

Tidak Berjabat Tangan Antara Laki-Laki Dan Perempuan Yang Bukan Mahram

Yang satu ini barangkali tidak identik dengan budaya dan kebiasaan orang-orang Arab, tapi mungkin lebih dekat dengan kebiasaan sebagian masyarakat di negeri kita, yaitu bersalam-salaman atau berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, di setiap acara, pertemuan dan perayaan hari-hari tertentu.

Meskipun mungkin asalnya bisa dikatakan sebagai budaya dan kebiasaan sebagian masyarakat, akan tetapi dalam Islam sangat dilarang dengan keras karena kerusakan dan fitnah besar yang timbul sebagai akibatnya.

Cukuplah hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini yang mengingatkan tentang besarnya kerusakan dan fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan terhadap laki-laki. Dari Usamah bin Zaid Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan”[32].

Banyak hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan larangan dan keharaman hal ini, di antaranya:

Dari Aisyah Radhiyallahu anhuma (istri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) :

Aisyah Radhiyallahu anhuma menceritakan tentang baiat kaum wanita (Mukminah) kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah menyentuh seorang wanitapun dengan tangan Beliau, tapi Beliau mengambil baiat wanita (dengan ucapan saja dan tanpa berjabat tangan), setelah membaiat wanita, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Pergilah, sungguh aku telah membaiatmu”[33]. Imam abu Zakaria an-Nawawi (Imam besar dari  madzhab asy-Syafi’i) menyebutkan beberapa faidah dari hadits ini, di antaranya:

Membaiat wanita (hanya) dengan ucapan tanpa berjabat tangan, adapun laki-laki maka dengan berjabat tangan dan ucapan.Tidak boleh menyentuh kulit wanita yang bukan mahram tanpa (ada alasan) darurat, seperti berobat dan lain-lain.[34]Dari Umaimah bintu Ruqaiqah Radhiyallahu anhuma dia berkata:

Aku pernah mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para wanita (Muslimah) untuk membaiat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam Sunan Ibnu Mâjah [35].

Hadits ini menguatkan penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.

Dari Ma’qil bin Yasar Radhiyallahu anhu :

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمُسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ

Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya)”[36].

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang sangat keras bagi seorang (laki-laki) yang menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. Ini (juga) menunjukkan haramnya berjabat tengan dengan perempuan (selain istri atau mahram), karena ini termasuk menyentuh, tanpa diragukan lagi. Sungguh keburukan ini di zaman sekarang telah menimpa banyak kaum Muslimin, yang di antara mereka ada orang-orang yang berilmu (paham agama Islam). Seandainya mereka mengingkari keburukan ini (meskipun) dalam hati mereka, maka paling tidak keburukan ini akan sedikit berkurang. Akan tetapi (parahnya) mereka (justru) menganggap keburukan tersebut halal, dengan berbagai macam cara dan pentakwilan. Sungguh telah sampai kepadaku (berita) bahwa seorang tokoh yang sangat diagungkan di (Universitas) al-Azhar (di Mesir) pernah disaksikan beberapa orang sedang berjabat tangan dengan beberapa orang perempuan (yang bukan mahramnya). Kita mengadukan kepada Allâh Azza wa Jalla tentang asingnya ajaran Islam”[37].

Kesimpulannya, agama Islam melarang keras dan mengharamkan bagi laki-laki untuk menyentuh perempuan yang bukan mahramnya, termasuk berjabat tangan untuk berkenalan, bermaaf-maafan, berterima kasih atau alasan-alasan lainnya, karena ini akan mengantarkan kepada dampak negatif dan keburukan besar.

Penutup

Demikianlah dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum Muslimin untuk memotivasi mereka agar menjauhi hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, guna menjamin keselamatan dan kebaikan hidup mereka di dunia dan akhirat kelak.

_______

Footnote:

[1] Lihat kitab Tafsir Ibni Katsîr (3/711)

[2] HR. Al-Bukhâri (1/128) dan Muslim (no. 521).

[3] HR. Ahmad (5/411) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahîhah (no. 2700).

[4] HR. Muslim (no. 153)

[5] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam tafsir beliau, hlm. 481

[6] Tafsir Ibnu Katsir, 3/626

[7] Kitab Majmû’ul Fatâwa, 27/504

[8] Sebagaimana dalam HR. Muslim, no. 2020

[9] Sebagaimana dalam HR. Abu Dawud, no. 3878 dan at-Tirmidzi, 3/319), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani.

[10] Sebagaimana at-Tirmidzi, 4/339 dan Ibnu Hibban, no. 474, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.

[11] Sebagaimana dalam HR. Abu Dawud, no. 4031 dan Ahmad, 2/50. Hadits ini dinyatakan shahih Syaikh al-Albani.

[12] Sebagaimana dalam HR. Al-Bukhâri, 5/2182

[13] HR. Ahmad, 2/381 dan al-Hakim (2/670), dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[14] dibatalkan atau ditiadakan dalam Islam

[15] Disusui di kabilah  Bani Sa’ad kemudian dia dibunuh oleh Hudzail

[16] HR. Ibnu Majah, no. 3074 dan Ibnu Khuzaimah, 4/251, dinyatakan shahih oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan Syaikh al-Albani.

[17] HR. Al-Bukhari, 5/2182

[18] Kitab Tafsir Ibni Katsir, 3/462

[19] Kitab Iqtidhâ ash Shirâthil Mustaqîm, hlm. 207

[20] Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 489

[21] HR. Muslim, no. 2128

[22] HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath, 9/131 dinyatakan shahih sanadnya oleh syaikh al-Albani dalam kitab  Jilbâbul Mar’atil muslimah, hlm. 125

[23] Lihat penjelasan Imam an-Nawawi dalam Syarhu shahih Muslim, 14/110

[24] HR. Al-Bukhâri, 5/2209 dan Muslim, no. 259

[25] HR. Muslim, no. 260

[26] Lihat penjelasan Syaikh al-Albani dalam kitab Âdâbuz zifâf , hlm. 137.

[27] Kitab al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, 14/174

[28] Lihat penjelasan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab Hirâsatul Fadhîlah, hlm. 87

[29] HR Ibnu Khuzaimah, no. 1685; Ibnu Hibbân, no. 5599 dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul  Ausath, no. 2890, dinyatakan shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâditsish Shahîhah, no. 2688

[30] Kitab Majmû’al fatâwa syaikh Bin Bâz, 4/308

[31] Al-Fatâwâ al-Imârâtiyyah

[32] HR. Al-Bukhâri, no. 4808 dan Muslim, no. 2740

[33] HR. Muslim, 3/1489, no. 1866), Bab: Bagaimana (Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) Membaiat Wanita.

[34] Lihat Syarah shahih Muslim, 13/10

[35] HR. an-Nasa’i, 7/149, no. 4181; At-Tirmidzi, 4/151, no. 1597 dan Ibnu Mâjah, 2/ 959, no. 2874. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Hajar, Fathul Bari 13/204

[36] HR ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr, no. 486 dan 487 dan ar-Ruyani dalam al-Musnad, 2/227; dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawâ-id 4/598), al-Mundziri dan al-Munawi (lihat kitab Faidhul Qadîr 5/258, dan dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, no. 226

[37] Lihat Silsilatul Ahâdîtsish Shahîhah, 1/225, no. 226

Apa Alasanku Untuk Tidak berayukur?

Bismillaahirrohmaanirrohiim.. وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ   “Dan seg...