Telusuri

Rabu, 06 Desember 2017

AL-QUR’AN MUHKAM DAN MUTASYABIH

AL-QUR’AN MUHKAM DAN MUTASYABIH

BENTUK-BENTUK AYAT MUTASYABIH DALAM AL-QUR’AN

Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.

Pertama:
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا

“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya” [Thahaa/20 : 110]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [Al-An’am/6 : 103]

Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy” [Thahaa/20 : 5]

Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam ? Beliau menjawab : “Bersemayam menurut bahasa telah diketahui artinya, hakikatnya tidak diketahui, iman kepadanya hukumnya wajib dan mempertanyakannya adalah bid’ah”

Bentuk Mustasyabih yang ini tidak mungkin untuk dipertanyakan sebab tidak mungkin untuk bisa diketahui hakikatnya.

Kedua.
Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.

Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, karena tidak ada satu katapun dalam Al-Qur’an yang artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ

“(Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran/3 : 138]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“ …Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” [An-Nahl/16 : 89]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ﴿١٨﴾ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ

“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya” [Al-Qiyaamah/75 : 18-19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمْ بُرْهَانٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ نُورًا مُبِينًا

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kapadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamua cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)” [An-Nisaa/4: 174]

Contoh-contoh untuk bentuk ini sangat banyak sekali, diantaranya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Asy-Syura/42 : 11]

Ahli Ta’thil salah dalam memahaminya, mereka pahami, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka beranggapan, bahwa adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan keserupaan dengan makhluk, mereka menolak banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menolak, bahwa kesamaan makna tidak mengharuskan adanya keserupaan.

Contoh lain :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya” [An-Nisaa/4 : 93]

Golongan Wa’idiyah salah dalam memahaminya, mereka pahami bahwa seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka dia kekal di dalam neraka, dan hal ini dijadikan patokan bagi semua pelaku dosa besar, mereka menolak ayat-ayat yang menjelaskan bahwa dosa-dosa di bawah syririk berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Contoh yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ ۗ إِنَّ ذَٰلِكَ فِي كِتَابٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi ? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” [Al-Hajj/22 : 70]

Golongan Jabariyah salah dalam memahaminya, mereka memahami, bahwa seorang hamba melakukan amal perbuatan karena terpaksa, dia tidak memiliki keinginan dan kemampuan apapun, mereka menolak banyak ayat yang menjelaskan, bahwa seorang hamba juga memiliki keingainan dan kemampuan dan bahwa amal perbuatan seorang hamba terbagi menjadi dua : ikhtiyaari (berdasarkan keinginan) dan ghoiru ikhtiyaari (paksaan).

Sementara orang-orang yang mendalam ilmunya atau para ulama adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar, mereka tahu bagaimana mengkorelakasikan ayat-ayat Mutasyabihah ini sehingga maknanya sesuai dengan ayat-ayat yang lain, akhirnya Al-Qur’an seluruhnya menjadi Muhkam tidak ada yang tersamar sama sekali.

HIKMAH DARI PEMBAGIAN AL-QUR’AN MENJADI MUHKAM DAN MUTASYABIH
Kalau seandainya Al-Qur’an seluruhnya Muhkam, maka akan hilanglah hikmah dari ujian pembenaran dan amal perbuatan, karena maknanya sangat jelas dan tidak ada kesempatan untuk menyelewengkannya atau berpegang kepada ayat Mutasyabih untuk menebarkan fitnah dan merubahnya. Dan kalau seandainya Al-Qur’an seluruhnya adalah Mutasyabih, maka akan lenyaplah posisi Al-Qur’an sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia serta tidak mungkin untuk melakukan amal ibadah dengannya dan membangun aqidah yang benar diatasnya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menjadikan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an Muhkam agar bisa dijadikan rujukan ketika terdapat makna yang tersamar, dan sebagian lagi Mutasyabih sebagai ujian bagi para hamba agar terlihat jelas orang yang benar-benar beriman dari orang yang dihatinya terdapat penyakit, karena orang yang benar-benar beriman akan mengakui, bahwa Al-Qur’an seluruhnya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan apa saja yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benar, tidak mungkin ada kebathilan atau kontradiksi sedikitpun padanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ

“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” [Fushilat/41 : 42]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ۚ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” [An-Nisa/4 : 82]

Sedangkan orang yang dalam hatinya terdapat penyakit, maka dia akan menjadikan ayat-ayat Mutasyabih sebagai sarana untuk merubah-rubah ayat-ayat Muhkam dan mengikuti hawa nafsu dalam menebarkan keragu-raguan pada berita-berita Al-Qur’an serta angkuh dan sombong dari hukum-hukum Al-Qur’an. Oleh karena itu anda selalu mendapati bahwa orang-orang yang salah jalan dalam masalah aqidah dan ibadah selalu mempergunakan ayat-ayat Mutasyabih sebagai dasar penyelewengan mereka.

Allahu ta'ala a'lam...

Kamis, 30 November 2017

Perayaan Maulid Nabi Menurut Syari'at Islam

PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM MENURUT SYARI’AT ISLAM

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.

Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka

Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.

Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.

Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.

ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]

Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]

BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:

1. Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Juga berfirman :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Azza wa Jalla dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak”.

Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak”.

2. Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

…فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]

Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]

3. Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]

Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]

Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?

4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]

Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta’alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla :

وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “

Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil …” [al-An’âm/6:115]

Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.

Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).

Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]

Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ

“Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka.” [8]

5. Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.

6. Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ

“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” [9]

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.

مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ

“Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at” [10]

Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]

Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]

Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.

7. Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân/3:31]

al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]

Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini …”

Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”

8. Memperingati Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]

9. Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.

10. Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

” … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari Kemudian” [an-Nisâ’/ 4:59]

Demikian juga dengan firman-Nya:

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]

Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.

11. Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]

Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

12. Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.

“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”

Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :

قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.

“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan” [18]

Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya” [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]

13. Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]

14. Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.

Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]

Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah Azza wa Jalla berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ

“Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at”[23]

Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]

Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.

HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:

1. Mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.

2. Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.

3. Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya” [al-Ahzâb/33:56]

4. Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.

5. Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]

FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.

1. Al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”[26]

2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]

3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]

4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”[29]

5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“…Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya.

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]

Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya…”[30]

6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.

Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]

Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]

7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…” [al-Hasyr/59:7]

Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…

Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam…”[32]

Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.

Marâji’ :
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.

_______
Footnote
[1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah Radhiyallahu ‘anhu.
[4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu ‘anhu.
[18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]. Al-Madkhal (II/234-235).
[29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.

Senin, 27 November 2017

HUKUM SAFAR BAGI WANITA TANPA MAHRAM

HUKUM SAFAR BAGI WANITA TANPA MAHRAM

🌴SYUBHAT-SYUBHAT DAN JAWABANNYA🌴

1. Ada orang mengatakan bahwa larangan wanita safar tanpa mahram adalah apabila menggunakan angkutan zaman dulu, seperti onta, kuda, atau lainnya, yang wanita akan mengalami kesukaran, kesusahan dan menghabiskan waktu yang lama Adapun wanita yang bersafar menggunakan angkutan zaman sekarang, baik angkutan udara, darat atau laut, maka tidak termasuk keumuman hadits yang melarang wanita safar tanpa mahram.

Kami katakan untuk menjawab terhadap syubhat ini, yaitu: bahwa syariat dan agama kita sesuai untuk setiap zaman dan tempat- Alhamdulillah-. Maka sebagaimana syariat dan agama kita sesuai untuk zaman onta dan pedang, sesuai pula untuk zaman pesawat terbang, roket dan atom. Seandainya agama ini hanya sesuai pada satu zaman saja, seperti agama-agama terdahulu, pastilah Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengutus seorang nabi lagi setelah nabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam padahal pastilah Rabb kita tidak akan melakukan hal tersebut, karena Dia telah berfirman:

مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi". [Al-Ahzab: 40]

Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي

"Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku". (HR. Muslim 1920, Abu Dawud 4252, Tirmidzi 2203]

Kemudian beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan dan melarang mereka dari setiap keburukan serta mengabarkan kepada mereka berbagai cobaan dan bencana-bencana yang akan terjadi sampai hari kiamat. Seandainya syari’at, perintah dan larangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berlaku hanya berlaku untuk satu zaman, maka pastilah beliau sudah menjelaskannya.

وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

"Tidaklah Rabbmu lupa". [Maryam: 64]

Kemudian sesungguhnya orang-orang yang menyelidiki kejadian-kejadian pelanggaran kehormatan di pesawat terbang, mobil dan angkutan lainnya di zaman sekarang ini, dia akan mendapatkan keyakinan bahwa dahsyatnya bahaya tersebut tetap ada, dan sebab (alasan) yang karenanya nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang wanita safar sendirian tetap berlaku dari zaman dulu sampai sekarang.

Sering kita dengar tentang pembajakan pesawat terbang, sedangkan wanita dapat menimbulkan syahwat, dia lemah dan merupakan incaran para lelaki. Wanita sering dipamerkan untuk kerakusan orang-orang fasiq, padahal mereka seperti serigala yang siap menerkam, mereka menanti kesempatan yang datang untuk dapat menyendiri dengan wanita tersebut dan menyerbunya untuk memproleh kehormatan dan kesuciannya. Kejadian perampasan dan pemerkosaan sudah tidak terhitung jumlahnya, banyak terjadi di negeri kafir dan negeri muslim. Di antara sebab yang paling banyak adalah: bercampur baurnya (ikhtilath) antara laki dan perempuan, laki-laki menyendiri dengan wanita, dan safarnya wanita sendirian tanpa disertai mahram. Maka wanita yang meremehkan masalah ini akan dapat kehilangan kehormatan dan kesuciannya dimana keduanya merupakan perhiasan wanita di setiap zaman dan tempat. Karena keselamatan dien wanita tergantung juga dengan keselamatan kehormatan, kemuliaan dan akhlaqnya. Dan agama tidak akan menjaga wanita kecuali jika dia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan rasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kepada bapak-bapak, suami dan penguasa yang menjadi penanggung jawab masalah (Auliya’ul umur) ini, janganlah meremehkan masalah yang berbahaya ini. Padahal dengan mentaati agama dalam masalah ini dan masalah lainnya akan dapat menjaga kehormatan kaum muslimin di setiap waktu dan tempat. Kalau tidak, maka kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan dirasakan oleh umat ini dan adzabNya akan terjadi tanpa kecuali. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka". [At-Tahrim : 6]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad] [Lih. Kasyful Khafa’ an Ahkaami Safarin Nisa’ oleh Syeikh Muhammad Musa Nashr. Hal. 22-25]

2. Sebagian orang mengatakan: “Mengapa wanita dilarang safar kecuali bersama dengan mahramnya?”.

Hakekat syubhat ini menurut mereka adalah "mengapa seorang wanita tidak diberikan kepercayaan yang sempurna pada dirinya? Mengapa harus ada ketakutan yang berlebihan? Hendaklah berbaik sangka kepada wanita dan jangan mengkhawatirkan dirinya".

Padahal sebenarnya keharusan adanya mahram bersama wanita tersebut merupakan penghormatan bagi wanita. Karena mahram ini pada hakekatnya dianggap sebagai khadim (pembantu) yang mengerjakan kebutuhan-kebutuhannya, dan memberikankan ketenangan yang sempurna baginya. Sebagaimana juga mahram dianggap sebagai penjaga kehormatan dan kemuliaannya dari (gangguan) orang-orang rendah dan jelek akhlaqnya.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أنْ تُسَافِرُ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

"Tidaklah halal (tidak boleh) seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar kecuali bersama dengan mahramnya".

Dan perintah beliau kepada seorang laki-laki yang sudah tercatat untuk mengikuti peperangan agar dia pergi berhaji bersama istrinya. Semua itu adalah untuk kemaslahatan wanita itu sendiri. Hal ini tidak menghilangkan kepercayaan dirinya sendiri, bahkan akan menenangkan jiwanya dan menjamin keselamatannya. Sesungguhnya melepaskan tali kendali bagi wanita untuk bersafar kapan saja dia mau, tanpa disertai mahram akan mengantarkan dirinya dan masyarakat seluruhnya pada malapetaka yang berbahaya. Dan hal tersebut merupakan bahaya yang mengancam keselamatan wanita. Karena orang yang ingin berbuat jahat terhadapnya dan menanti dirinya pastilah akan dapat melakukannya, sehingga merusak kehidupan dan kehormatannya.

Di antara tabi’at wanita adalah lemah badan dan pribadi (jiwa)nya, maka sering dikalahkan oleh laki-laki. Disebabkan kelemahannya, laki-laki sering mempengaruhi wanita dan mencoba agar wanita tersebut bersedia menyerahkan diri dan kehormatannya. Dari sini (diketahui bahwa) mahram bagi wanita dalam bersafar adalah perkara yang wajib. Sebagaimana adanya mahram yang menghalangi wanita khalwat (menyendiri dengan laki-laki yang bukan mahram) adalah suatu perkara yang wajib.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal tersebut mengakibatkan terjadinya bencana, dimana syaithan akan menjadi pihak ketiga dalam khalwat ini, sedangkan syaithan adalah musuh besar yang nyata bagi manusia. Semua ini adalah untuk menjaga akhlaq wanita, sampai rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang masih kerabat bagi laki-laki ini, apabila tidak ada mahram bersamanya, seperti saudara laki-laki, paman dari ayah atau paman dari ibu suami. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

"Janganlah kalian menemui wanita (yang bukan mahram). Seorang lelaki dari kalangan Anshar bertanya: “Apa pendapat anda tentang saudara ipar?”. Beliau bersabda: “Ipar adalah maut".

Ipar adalah kerabat suami yang bukan mahram.

Seandainya tidak ada kehati-hatian pastilah syaithan akan mempengaruhi bani Adam, dan pastilah wanita yang akan menjadi korban. Dan jika itu terjadi, para penyeru kebebasan tidak akan dapat membebaskan dari bencana itu.

Kalu demikian, maka apakah mahram -yang menjaga akhlaq wanita, agamanya dan keselamatan hidupnya- itu dianggap mempersempit kebebasan (urusan) nya serta merampas kepercayaan dirinya? Yang benar adalah bahwa hal itu merupakan bagian yang penting dari hak-hak kebebasannya (hak-hak untuk mendapatkan perlindungan-Red) yang hal ini tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang Allah terangi hatinya dengan cahaya iman. [Syubhaatun fi Thariqatil Mar’atil Muslimah, hal: 48-49, karya syeikh Abdullah Al-Jilaaly , sebagaimana dinukil dalam kutaib “Min Mukhalafatin Nisa’, hal: 45-47, jama’a Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As-Sudhaan]

3. Sebagian orang membolehkan seorang wanita diantarkan oleh mahramnya sampai naik pesawat terbang, kemudian mahramnya yang lain akan menjemputnya di negara tujuan. Menurut pendapat mereka pesawat terbang itu aman, karena didalamnya banyak penumpang laki-laki dan perempaun.

Kami katakan kepada mereka: "Ketahuilah bahwa pesawat terbang bahayanya lebih besar daripada kendaraan lain, karena penumpang bercampur baur didalamnya. Kemungkinan wanita tersebut akan duduk di samping laki-laki (yang bukan mahramnya), dan kemungkinan juga pesawat menghadapi sesuatu (cuaca buruk misalnya) yang dapat merubahnya menuju ke bandara yang lain (bukan tujuan). Kalau itu terjadi, maka wanita tersebut tidak akan menemukan mahram yang akan menjemputnya, sehingga ia menghadapi bahaya. Apa yang terjadi pada wanita tersebut di negara yang tidak dia kenal, dan tidak ada mahram baginya di negara tersebut?". [Tanbihaat ‘alaa Ahkaamin Takhtashshu Bil Mukminat, oleh Syeikh Fauzan Al-Fauzan]

Syeikh Al-Albany rahimahullah menyebutkan kisah sebagai berikut:
"Ada mahram seorang wanita mengantarkannya ke bandara, karena wanita tersebut mempunyai janji dengan suaminya di bandara yang akan ia tuju. Setelah pesawat lepas landas, seorang pramugari yang keji memperhatikan wanita yang sendirian ini, yang ia adalah seorang yang cantik. Lalu pramugari yang keji ini memberitahu pilot pesawat, tentang kecantikan wanita itu dan bahwa dia sendirian. Lalu pilot pesawat merubah arah pesawat dari rutenya yang pertama menuju bandara lain, dengan alasan bahwa ada kerusakan pada pesawat. Setelah pesawat mendarat di bandara itu, pramugari tadi menemani wanita itu menuju keperistirahatan penumpang, dengan keyakinan wanita tersebuat bahwa pramugari ini ingin menemaninya karena dia sendirian. Setelah pramugari tadi menyiapkan tempat yang cocok, kemudian dia memberi tahu pilot, bahwa segala sesuatunya seperti yang dia inginkan. Lalu pilot tersebut segera menuju ke tempat itu, kemudian menemui wanita tadi. Dan di sini terjadilah perbuatan yang keji. Setelah itu para penumpang menaiki pesawat dan melanjutkan perjalanan mereka sehingga sampai ke bandara tujuan. Di sana mahram wanita tersebut menunggu, lalu wanita tersebut memberitahukan padanya apa yang telah terjadi pada dirinya. Akan tetapi (wahai para wanita) dapat membayangkan bagaimana perasaan mahram wanita tersebut." [Dinukil dari Min Mukhaalafaatin Nisaa’, hal. 47-48].

🌴FATWA ULAMA TENTANG HUKUM SAFAR WANITA TANPA SUAMI ATAU MAHRAM

1. Fatwa Samaahah As-Syaikh Al-‘Alamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah:
Soal: “Apakah seorang wanita dianggap sebagai mahram bagi wanita asing (bukan mahram) dalam safar, bermajlis dan semisalnya atau tidak dianggap mahram?”

Jawab: Seorang wanita bukan mahram bagi wanita lainnya, mahram itu hanyalah laki-laki yang haram menikah dengannya karena nasab, seperti: ayahnya, saudara laki-lakinya, atau dengan sebab mubah seperti suami, ayah suami (mertua), anak suami, dan seperti ayah susuan, saudara laki-laki dari susuan dan semisalnya.

Tidak boleh laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita asing (bukan mahram) dan tidak boleh bersafar dengannya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Wanita tidak boleh safar kecuali bersama dengan mahramnya".

Hadits tersebut disepakati keshahihannya. Dan berdasarkan sabdanya Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا

"Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita karena setan menjadi pihak yang ketiga dari keduanya". [HR. Ahmad]. [Al-Fataawaa / Samahah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz (190) dicetak oleh Muassasah Ad-Da’wah Al-Islamiyah].

2. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Soal: "Ada seorang wanita dari Saba’ terkenal sebagi wanita shalihah, dia berumur setengah baya atau mendekati lanjut usia dan dia ingin menunaikan haji, akan tetapi tidak mempunyai mahram (yang dapat menyertainya). Ada laki-laki diantara penduduk negeri itu yang ingin pergi haji, dia terkenal sebagi laki-laki shalih dan dia bersama wanita-wanita dari kalangan mahramnya. Apakah boleh wanita tersebut berhaji bersama laki-laki yang baik ini dan wanita-wanitanya, dan dia berada bersama para wanita sedangkan laki-laki itu mengawasinya, ataukah kewajiban haji gugur darinya karena tidak adanya mahram, sedangakan dia mampu dari sisi harta?. Berilah fatwa kepada kami semoga Allah memberkahimu, karena kami berbeda pendapat dengan beberapa ikhwan.

Al-Lajnah telah menjawab sebagai berikut:
Seorang wanita yang tidak mempunyai mahram tidak wajib haji atasnya, karena mahram termasuk as-Sabiil, dan kesanggupan as-Sabiil adalah syarat dalam wajibnya haji. Allah ta’ala berfirman:

وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah". [Ali-Imran: 97].

Wanita tidak boleh melakukan bersafar untuk haji atau untuk selainnya, kecuali bersama dengan suami atau mahramnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ مَعَ ذي مَحْرَمٍ

"Tidak halal bagi wanita melakukan safar sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya".

Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga dari ‘Abbas Radhiyallahu 'anhu beliau mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (artinya): "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama dengan mahram wanita tersebut, janganlah seorang wanita safar kecuali bersama dengan mahramnya”. Lalu seorang berdiri dan berkata: “Wahaia Rasulullah sesungguhnya isteriku keluar untuk berhaji, sedangkan aku tercatat untuk mengikuti perang ini dan ini.” Beliau bersabda: “Pergilah dan berhajilah bersama isterimu."

Al-Hasan an-Nakha’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir dan Ashabur Ra’yi telah berpendapat dengan perkataan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini. Dan itulah yang shahih karena sesuai dengan keumuman hadits-hadits yang melarang wanita safar tanpa disertai suami atau mahramnya. Sedangkan Malik, Asy-Syafi’i dan al-Auza’iy menyelisihi dalam hal itu, dan masing-masing mereka memberikan syarat yang tidak ada hujjahnya sama sekali.

Semoga Allah memberikan shalawat kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. [Majalah ad-Da’wah 7688 – al-Lajnah ad-Da’imah].

3. Fatwa Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau rahimahullah berkata: “Seorang wanita tidak boleh bersafar untuk haji atau untuk selainnya kecuali bersama mahramnya, sama saja baik safarnya tersebut lama atau sebentar, bersama para wanita atau tidak, pemudi ataupun lanjut usia, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

"Janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama dengan mahramnya".

Hikmah dilarangnya wanita safar tanpa mahram adalah kurangnya akal wanita, kurangnya (kekuatannya untuk) membela dirinya, dan dia adalah incaran para laki-laki. Terkadang dia ditipu, dipaksa atau lemah agamanya lalu keluar disertai syahwatnya, sedangkan pada dirinya terdapat sesuatu yang diinginkan oleh orang-orang yang rakus. Maka mahram-lah yang akan melindunginya, menjaga kehormatannya dan membelanya. Oleh karena itu mahram disyaratkan harus laki-laki yang baligh dan berakal, sehingga tidaklah mencukupi anak kecil yang belum baligh dan tidak pula orang yang tidak berakal.

Mahram adalah suami wanita tersebut dan setiap orang yang haram menikahinya selamanya baik karena sanak saudara (keluarga), susuan atau (keluarga) karena perkawinan. [Al-Manhaj Li Muriidil ‘Umrati Wal Hajji, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin hal: 7].

4. Fatwa Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah Hafidhulullah
Beliau Hafidhulullah berkata: "(Bagi) wanita ditambah syarat yang keenam yaitu adanya suami, atau mahram yang akan bersafar bersamanya untuk haji. Karena tidak halal baginya bersafar untuk berhaji atau selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya, seperti: ayah, saudara laki-laki atau anak laki-laki. Sama saja baik didapati teman wanita yang amanah ataupun tidak, baik haji yang wajib ataupun sunnah, baik lanjut usia ataupun gadis.

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ وَمَعَهَا ذي مَحْرَمٍ

"Tidak halal bagi wanita safar sejauh sehari semalam (perjalanan) kecuali bersama dengan mahramnya".

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang telah menyiapkan (keperluan) untuk berperang sedangkan isterinya ingin menunaikan haji, agar dia berhaji bersama isterinya dan meninggalkan jihad.

Seaandainya para ulama -yang berpendapat bolehnya wanita safar dengan seorang wanita yang amanah- melihat atau mendengar apa yang terjadi pada zaman kita sekarang ini –padahal perantara-perantara safar telah menjadi mudah, dengan adanya pesawat terbang, mobil atau lainnya, yaitu kejadian yang berupa perampasan pesawat-pesawat terbang, perubahan arah tujuan dan seringnya pendaratan darurat selain pada bandara yang dinginkan, pastilah mereka melihat kembali pada apa yang telah mereka katakan.

Tidaklah aku merasa heran kecuali terhadap sekelompok ahlu ilmi pada zaman sekarang ini, mereka menjadikan mudahnya perantar-perantara (angkutan-angkutan), singkatnya waktu dan semakin singkatnya jarak perjalanan yang jauh sebagai sebab dibolehkannya wanita safar sendirian tanpa mahram atau suami, sedangkan mereka melihat bencana yang terjadi pada manusia secara langsung!

Kepada Allahlah tempat mengadu, aku ingatkan mereka dengan firmanNya Azza wa Jalla :

وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

"Dan tidaklah Rabbmu lupa".

[Irsyaadu As-Saary Ilaa ‘Ibaadati al-Baary, hal: 19, 20]

Pada kitab yang sama hal: 41, beliau berkata: (Di bawah judul: masalah-masalah yang khusus tentang haji wanita):

Pertama: Apabila syarat-syarat wajib haji bagi wanita telah terealisasikan kecuali (adanya) suami atau mahram yang menemaninya dalam safarnya, maka telah gugur kewajiban haji darinya.

Kedua: Apabila wanita safar untuk berhaji tanpa ditemani suami atau mahram, maka dia telah berbuat maksiat dengan safarnya ini. Sama saja, baik bersama teman wanita yang amanah ataupun teman wanita yang tidak amanah. Akan tetapi apabila dia telah menunaikan manasik hajji maka hajinya telah sempurna dan gugur kewajiban haji darinya.

Wallahu A’lam Bish-Shawwab.

Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti dengan baik sampai hari kiamat.

Minggu, 26 November 2017

SUCINYA TANGAN NABI (BELIAU SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TIDAK PERNAH BERJABAT TANGAN DENGAN WANITA YANG BUKAN MAHRAM)

SUCINYA TANGAN NABI (BELIAU SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM TIDAK PERNAH BERJABAT TANGAN DENGAN WANITA YANG BUKAN MAHRAM)

Rasulullah, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia paling bertakwa dan paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Disebutkan dari ‘Umar bin Abi Salamah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلَّهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ

Demi Allah, aku orang yang paling bertakwa dan paling takut kepada Allah. [HR Muslim no. 1863].

Beliau juga merupakan pribadi yang sangat kuat dalam mengendalikan syahwat. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia menceritakan :

وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ

Beliau orang yang sangat mampu mengendalikan syahwatnya [HR Al-Bukhari 1792, dan Muslim 1854].

Kendati demikian, tangan beliau yang mulia belum pernah bersentuhan dengan tangan wanita yang tidak halal baginya, yaitu wanita yang bukan mahramnya.

Sang istri, 'Aisyah Radhiyallahu anhuma mengatakan, bahwa tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersentuhan dengan kulit telapak tangan wanita lain yang bukan mahram. Bahkan tetap merasa tidak perlu berjabat tangan pada sebuah prosesi yang sangat krusial, yakni baiat (sumpah dan janji setia pada pemimpin) sekalipun. Katanya:

وَاللَّهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ وَمَا بَايَعَهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ

Demi Allah, tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan perempuan sama sekali dalam baiat. Beliau tidak membaiat para wanita kecuali dengan perkataan (saja). [HR Al-Bukhari, 4891].

Begitu pula, riwayat yang disampaikan oleh Umaimah binti Ruqaiqah – ketika sejumlah wanita membaiat beliau -, ia berkata:

Kami berkata kepada Rasulullah: "Apakah engkau tidak menjabat tangan kami?" Beliau menjawab:,"Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita . . .".[1]

Hadits-hadits di atas, seperti diungkapkan Syaikh Salim al Hilali [2] sudah cukup untuk menjelaskan kerasnya ancaman bagi seorang laki-laki yang berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah (asing) yang bukan mahramnya. Makna larangan ini, tidak lain ialah bermakna pengharaman.

Keengganan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjabat tangan pada urusan yang penting (yaitu baiat) yang sebenarnya menuntut adanya jabat tangan, ini menunjukkan indikasi bahwa berjabat tangan itu, lebih tidak diperlukan lagi ketika seorang lelaki dan perempuan berjumpa, sebagaimana pada masa sekarang ini sudah bersifat umum dan lumrah dilakukan oleh dua orang jika bertemu.[3] Akan tetapi, ucapan dan tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sangat jelas dalam permasalahan ini.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ

Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, lebih baik daripadaia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.

Syaikh al Albani rahimahullah (Ash-Shahihah, hadits no 226) menyimpulkan, hadits ini memuat ancaman keras bagi seseorang yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Juga menjadi dalil pengharaman berjabat tangan dengan kaum wanita. Karena "menyentuh" dalam teks hadits di atas mencakup jabat tangan.

Subhanallah, betapa suci tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari persentuhan dengan tangan-tangan wanita ajnabiyyah (bukan mahram).
_______
Footnote
[1]. Isnadnya shahih. Lihat Ash-Shahihah, no. 529.
[2]. Silsilah Manahi Syar'iyyah.
[3]. Muncul pendapat yang syadz dari pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani, bahwa berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak masalah. Lihat bukunya, An- Nizham Al Ijtima’i fil-Islam, hlm. 35.

Apa Alasanku Untuk Tidak berayukur?

Bismillaahirrohmaanirrohiim.. وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ۖ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ   “Dan seg...